Home » »

Written By Wayan Agus on Jumat, 27 Januari 2012 | 21.16


Perayaan Buda Cemeng Kulawu = Artha yang menanyai pemiliknya
Dalam tradisi, perayaan Budha Wage Kelawu (Cemeng), sering diartikan sebagai perayaan kepada Betara Rambut Sedana; perayaan kepada `Dia’ yang mememiliki kekayaan yang sesungguhnya.
Karena itu, pada hari Rabu, Wage, Kelawu, bagi yang meyakininya, akan menghindari melakukan transaksi jual beli; sebab pada hari itu, “Dia” yang memiliki kekayaan tengah melakukan yoganya. Maka tradisi `ekonomis’ yang menarik; sebab dalam sekali waktu `uang’ tidak dipergunakan. Walau dalam sehari, alangkah menariknya jika seseorang dibebaskan dari `ketakutan’ akan ketiadaan uang. Bayangkan andai serentak terjadi dalam sehari, semua orang tidak melakukan transaksi jual beli (?) Bagaimanakah sesungguhnya memaknai posisi uang dalam kehidupan manusia saat seperti itu (?) Kekacauankah akan terjadi atau akan hadir makna baru dalam menilai uang dalam kehidupan masa kini; yang memang menilai keberhasilan seseorang dari kekayaan, jabatan; dari busana luarnya; tidak peduli asal muasal kekayaan itu; didapatkan dengan jalan suci ataukah menipu? Uang telah terbukti ` menipu’ kejujuran hati, `penguasa’ dan “tuhan” yang sesungguhnya di masa kini.
Dalam pengertian yang luas, perayaan Budha Wage Kelawu; mengingatkan kembali akan keberadaan artha dalam konteks Catur Purusaartha; ( Artha, Kama, Dharma dan Moksa). Tidak dalam pengertian sebatas kekayaan, namun artha yang berasal dari bahasa sansekerta mengandung arti pula sebagai: “tujuan, sebab, motif, makna, pengertian, dalam konteks ide kemakmuran materi’. Artha juga mencakup konsep dalam arti mencapai ketenaran, dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi, yang akan kait mengkaitkan proses pencapaiannya dengan tiga lainnya yang ada dalam catur purusaartha, terutama kepada dharma (kebenaran).
Dalam keseharian, Artha, adalah salah satu dari empat tujuan hidup ditempatkan, sebagai tujuan mulia asalkan mengikuti perintah Veda; berdasarkan moralitas! Asalkan berdasarkan dharma (kebenaran), bukan semata karena kama (kesenangan fisik atau emosional). Nah, jika itu terpenuhi maka manusia akan menuju Moksha  (pembebasan). Dalam cara pandang yang lain, Artha ditempatkan juga sebagai salah satu (kewajiban) seseorang dalam kehidupan tahap keduanya, kewajiban mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin, namun dengan syarat ; tanpa menjadi serakah, dengan tujuan untuk membantu dan mendukung keluarga serta masyarakatnya.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/02/money_tree2.jpg
Di dalam Catur Purusartha telah diingatkan akan tujuan mutlak yang tertinggi bagi umat Hindu; yakni Moksa, yaitu pembebasan Atma dari Triguna (Satwam, Rajas dan Tamas), dapat pula tercapai melalui Reinkarnasi dengan hukum Karmanya (Karma Pala). Untuk mencapai Moksa harus dilandasi dengan Dharma; Setiap tindakan (karma) yang dilakukan harus berdasarkan Dharma; serta ajaran Dharma yang terdapat dalam Weda harus ditegakkan.
Itulah sebabnya, perayaan Budha Wage Kelawu sangatlah penting di masa sekarang ini; sebab negara dan masyarakat Indonesia tengah menonton secara nyata; tindakan korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh satu-dua orang saja, korupsi tidak cuma dalam soal mencuri uang negara! Namun hampir disemua lapisan masyarakat telah terjadi pengkorupsian tata krama-tata nilai; nilai-nilai kemanusiaan dilenyapkan dengan cara mengakali aturan, mencari pembenaran bagi kesalahan, yang membelokan penilaian masyarakat kepada tujuan hidupnya makin jauh dari kebenaran (dharma). Kini, mereka yang fashion religius; berpura-pura suci dan taat menjalankan ajaran mulia, dikagumi dan dicontohi, walau jelas, belumlah tentu mereka yang berpura-pura suci itu menjalankan ajaran mulia, hanya `busananya’ yang religius. Dibalik perilaku fashion religius itu yang ada adalah semangat memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadi: untuk keuntungan baik materi, status sosial dan ketenaran. Kemudian `Fashion humanis’, perilaku seolah-olah menjalankan penghormatan kepada keragaman, perilaku sayang lingkungan; tidak membeda-bedakan siapapun; namun dibalik semua itu, membiarkan terjadinya berbagai peristiwa menindas yang lemah; sibuk membangun wacana, bersilat lidah, namun membiarkan kekerasan terjadi dimana-mana baik phisik maupun psikis; baik melalui kekuasaan maupun kecendekiaan. Maka dalam bahasa putus asa; maka zaman ini pun berkata: itu semua ujungnya duit! Uanglah sebabnya!
Harta! Yang memiliki harta seolah tidak akan terkena hukum karma (?) Masyarakat melihat, bagaimana orang yang dipenjara dapat hidup mewah karena hartanya! Pelaku korupsi dapat menjadi calon pejabat publik, mantan pengguna narkoba pun dapat menjadi anggota parlemen, dst!: semuanya `disahkan’ oleh harta, oleh uang! Disucikan dan dibenarkan oleh uang! Karena itu, Artha, pada Budha Wage Kelawu ini; bagi siapa saja; dari gubernur sampai kepala desa, dari pemilik hotel sampai pemilik warung; tengah ditanyai oleh Artha itu sendiri. Benarkan kekayaanmu itu, sedikit ataukah banyak, apakah semua itu didapat berdasarkan dharma?
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/02/519x372.jpg
Jika pun engkau ragu tentang kesucian asal hartamu, lalu berusaha gagah mendandani upacaramu dengan sajen aneka rupa, dengan mengundang pendeta sakti mandraguna: hukum karma tetap menghitung dengan cermat; jika seketika hukumanya tiba, beruntunglah, karena akan segera engkau pahami apa hukumannya bagi yang memiliki artha dengan cara yang salah, jika nanti, kelak setelah engkau tiada atau pada kelahiranmu nanti hukuman itu baru tiba, melalui reinkarnasi barulah hukuman dirasakan oleh anak-cucumu; tersenyumlah saat ini, sebab engkau tertipu oleh kenikmatanmu hari ini, tak akan terbayangkan hukum karma itu bagi kelahiranmu nanti!
Karena itu, tak ada yang terlambat untuk kembali meyogakan diri pada hari Budha Wage Kelawu; segera mengoreksi kekayaan, sedikit ataukah banyak: benarkah didapatkan dengan jalan kebaikan? Berdasarkan dharmakah? Jika tidak: apa boleh buat, hukum dunia boleh ditipu, citra maya dapat mempesona, namun hukum karma berjalan tetap dengan pasti; Atmamu pun terikat pada rajas dan tamas, beribu upacara pun tak akan pernah membuat hidupmu damai, begitu yang dajarkan mengenai Artha, mengenai perayaan Budha Wage Kelawu, perayaan yang mengingatkan kembali tentang tujuan mulia.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/02/mebanten3.jpg
Secara tradisi, hari Rabu Wage Kelawu ( 10 Pebruari 2010) ini diyakini: Sang Batara Rambut Sedana tengah beryoga, maka usahakan, jangan melakukan transaksi jual-beli! Tujuannya,: coba diingat-ingat; apa yang engkau pamerkan, apa yang engkau sumbangkan? Apa yang engkau makan, apa yang engkau gunakan, dst. Apakah semua itu didapat dengan jalan dharma? Atau kamu cuma percaya semua itu didapatkan dari jerih payahmu sebagai harta kerkayaanmu! Semata-mata didapatkan dibeli dari uangmu? Tarik nafaslah, heningkan diri. Semoga disaat itu, tujuan mulia menegur hati, bahwa semua kekayaan itu, tiada lain atas karuniaNya! Dan yang tak ternilai adalah jalan kebenaran (dharma) sebagai hartamu!
Selamat merayakan Buda Cemeng Kulawu.
Oleh: Cok Sawitri
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/siwaratri2.jpg
PERAYAAN Siwaratri identik dengan melaksanakan
1. monobrata (tidak berbicara)
2. upawasa (puasa)
3. jagra (begadang)
Tak hanya itu, kisah Lubdaka pun sering dijadikan flash back perayaan Siwaratri. Bagi kebanyakan orang, Siwaratri sering dianggap malam penebusan dosa. Padahal sebenarnya tidak begitu. Istilah yang mungkin lebih tepat adalah malam perenungan dan mohon ampunan.
Perbuatan kita dalam perjalanan hidup banyak yang keliru, maka saat Siwaratri-lah kita renungkan semua apa yang telah kita lakukan sekaligus introspeksi dan pembenahan. Siwaratri juga harus dilihat sebagai latihan peningkatan moral sehingga kita akan selalu ingat dengan Tuhan dan rajin berdoa.
Secara umum Siwaratri bermakna memberi keseimbangan jiwa pada diri seseorang. Dengan selalu melatih bidang kerohanian kita, niscaya apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akan seimbang. ”Seimbang dalam artian tidak hanya wacana, tetapi juga realisasinya,”.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2011/01/siwaratri.jpg
TANGGAL 3 Januari 2011, Wraspati Paing Prangbakat, umat Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali khususnyamerayakan hari raya keagamaan yang disebut hari Siwaratri atau sering juga disebut Siwalatri Hari raya Siwaratri iniuntuk mengingatkan umat Hindu agar selalu meningkatkan kesadaran rohaninya dalam menghadapi dinamikakehidupan yang penuh dengan gejolak. Upawasa, jagra dan mona adalah suatu metode yang diajarkan oleh ajaranSiwaratri untuk membangun kesadaran diri. Orang yang memiliki kesadaran diri itulah yang akan dapat mengurangibahkan menghindar dari perbuatan dosa, meskipun tahap demi tahap.
Upawasa untuk melatih nafsu untuk tidak rakus.
Jagra maksudnya agar setiap langkah dalam berperilaku didasarkan pada kesadaran budhi. Kesadaran budhi itulahyang akan berperan memberikan berbagai pertimbangan sebelum melangkah dalam berperilaku.
Mona bertujuan untuk melatih lidah tidak berbicara sembarangan.
Sarasamuscaya mengajarkan hendaknya diusahakan agar dari lidah itu tidak keluar empat jenis kata-kata. Empat jenisucapan yang tidak boleh keluar dari lidah adalah:
1. ujar ahala
2. ujar pisuna
3. ujar mitya
4. ujar apergas
Artinya ucapan yang harus dihindari adalah ucapan yang mengandung maksud jahat, fitnah, bohong dan kasar. Halitulah yang dilatih dengan mona.
Hari raya Siwaratri bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa melakukan upawasa, jagra, dan monasebagai kegiatan untuk membangun kesadaran diri.
Manusia sering digelapkan hatinya oleh hawa nafsunya yang bergelora. Kemajuan duniawi tanpa diimbangi olehkemajuan rohani sering membawa manusia lupa akan hakikat jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang palingutama penghuni bumi ini. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kekuatan fisik atau juga kesaktian, kebangsawanan yangdiperoleh sering menjadikan manusia kehilangan kesadaran dirinya yang sejati. Namun, manusia akan disebutmanusia utama kalau kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kebangsawanan, kesaktian dan kekuatannya itu dilandasioleh rohani yang tinggi. Manusia memiliki kelebihan kalau dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Manusia mampu mengubah berbagai kekurangan maupun kesalahannya kalau ia mau mendayagunakan agama danilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena itu, manusia jahat sekalipun, kalau ia mampu membangkitkan kesadarandirinya akan dapat mengubah sifat jahatnya menjadi manusia baik dan suci.
Siwaratri artinya malam Siwa. Umat Hindu diingatkan untuk mengembangkan kesadaran dirinya. Hakikat ajaranSiwaratri adalah untuk mengingatkan manusia agar selalu percaya pada Tuhan (Siwa). Manusia akan selalu dapatmenghalau kegelapan hatinya dengan cara selalu percaya dan takwa pada Tuhan (Siwa).
Perayaan Siwaratri ini untuk mengingatkan umat untuk lebih menekankan pada cara beragama ke dalam diri.Beragama Hindu penekanannya ada dua arah yaitu:
1. Prawrti Marga, beragama keluar diri seperti mengutamakan pelayanan dan pengabdian pada alam dan sesamamanusia sebagai wujud bakti pada Tuhan.
2. Niwrti Marga adalah beragama yang lebih menekankan pada cara penghayatan diri demi perbaikan ke dalam dirisendiri.
Kedua jalan ini sama-sama penting untuk diseimbangkan pelaksanaannya. Tidak mungkin kita melakukan pelayananpada alam dan sesama kalau dalam diri kita masih rapuh. Diri yang kuat lahir batin akan termotivasi untuk mengabdipada sesama dan alam. Karena dalam keadaan alam yang lestari dan kehidupan bersama yang solid kita bisa hidupdengan aman, damai dan sejahtera.
Semoga hari raya Siwaratri ini menjadi tonggak untuk meningkatkan kesadaran diri kita sebagai umat beragama terussemakin cerah dan terarah menuju kehidupan yang penuh anugerah.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/siwaratri.jpg
Tatacara Pelaksanaan Upacara Siwaratri
1.   Pengertian.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan
 kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarรขtri juga disebut hari suci pajagran.
2. Waktu Pelaksanaan.
Siwarรขtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).
3.  Brata Siwarรขtri.
Brata Siwarรขtri terdiri dari:
1.   Utama, melaksanakan:
1.   Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3.  Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1.   Upawasa.
2. Jagra.
3.  Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.
4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarรขtri.
1.   Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
1.   Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
3.  Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarรขtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
5.  Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
Sumber Foto: http://www.baliwww.com
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/buku-siwaratri.jpg
Brata Siwa Ratri Pada Tilem Kepitu dan Cerita Lubdaka
Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.
Hal ini dilukiskan oleh Lubdaka yang memetik daun-daun Bila, dan mengenai Lingga Sang Hyang Siwa di telaga. Diistilahkan dengan seseorang yang sedang berjapam. Arwah Lubdaka menjadi rebutan, namun kemudian Siwa sendiri yang menyelamatkannya. Ini adalah suatu kiasan, bahwa betapapun besar dosa seseorang, jika sudah mohon ampun kehadapan –Nya serta insaf maka kesalahan itu akan diampuni oleh-Nya.
Hari suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu mempunyai keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata Siwaratri yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya sebagai berikut :
“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa.
Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.
Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/meditation-1.jpg
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :
1. Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
2. Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
3. Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/siwaratri3.jpg
Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.
Terutama sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah,
1. Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik),
2. Dhana (mabuk karena kekayaan),
3. Guna (mabuk karena kepandaian),
4. Kasuran (mabuk karena kemegahan),
5. kulina (mabuk karena keturunan bangsawan),
6. Yowana (mabuk karena keremajaan),
7. Sura (mabuk karena minuman keras).
Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.
Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus.
Kelihatannya kok gampang dan mudah sekali ya ? Belum tentu ! Melaksanakan salah satu dari brata itupun sangat sulit, apalagi ketiganya sekaligus. Meskipun cuma satu hari satu malam, wah sulitnya minta ampun.
Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Apa tujuannya Monabrata, upawasa dan mejagra. Pada dasarnya, laku-laku tapa brata adalah untuk pengendalian diri (mengekang hawa nafsu). Atau dengan kata lain membiasakan berkata dan bertingkah laku yang baik.
Monobrata maksudnya adalah mengubah kebiasaan dari suka berkata-kata kasar, memaki, memfitnah, membicarakan keburukan orang, menjadi senang berkata-kata yang lemah lembut, membicarakan kebaikan orang lain, senang mengagungkan nama Tuhan.
Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.
Tapa monobrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.
Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasar.
Tambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Oleh Adang Suprapto
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2010/01/siwaratri1.jpg
Dapatkah Dosa Ditebus Dengan Siwaratri?
Pertanyan ini menggelitik di kalangan warga Hindu bila mereka membandingkan dengan inti kepercayaan agama-agama lain. Manusia religius ketika sadar telah melakukan hal-hal yang dilarang agamanya (berdosa) ingin bertobat dan mencari upaya menenangkan batin dengan berbuat sesuatu yang dianggapnya dapat menebus dosa dalam pengertian “menghapus dosa”. Adakah Hindu membuka peluang bagi mereka?
Karmaphala adalah hasil subha karma atau perbuatan baik dan asubha karma yaitu perbuatan tidak baik, dipandang sebagai srada yang ampuh mengendalikan perbuatan manusia. Karmaphala ada tiga jenis jika dilihat dari saat berbuat dan saat menerima hasil perbuatan.
1.   Sancita karmaphala adalah hasil perbuatan di masa lampau (sebelum reinkarnasi) yang belum habis dijalani di masa itu sehingga menentukan kehidupan sekarang.
2. Prarabda karmaphala adalah hasil perbuatan di masa hidup sekarang yang habis dijalani sebelum manusia meninggal dunia.
3.  Kriyamana karmaphala adalah hasil perbuatan di masa lalu dan di masa kini yang belum habis dijalani sehingga menentukan kehidupan di masa datang (reinkarnasi yang akan datang).
Paham karmaphala ini menegaskan bahwa dosa tidak dapat ditebus atau dihapus. Oleh karena itu Hindu mengajarkan agar manusia waspada dan mencegah perbuatan-perbuatan dosa. Rambu-rambu untuk menghindarkan manusia berbuat dosa sangat banyak, sangat luas, dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Sumber sastra yang dapat dikumpulkan antara lain:
1.   Catur Asrama. Kehidupan manusia dibagi dalam empat tahap yaitu: Brahmacari (masa belajar), Grahasta (masa berumah tangga), Wanaprasta (masa mensucikan diri), dan Saniyasin (masa menjadi rohaniawan).
2. Pancasrada. Lima keyakinan Hindu: Widhi tattwa (percaya pada Ida Sanghyang Widhi Wasa), Atma tattwa (percaya pada adanya roh leluhur), Karmaphala (percaya pada hukum tentang sebab akibat perbuatan), Samsara (percaya pada reinkarnasi/ kelahiran berulang-ulang), Moksa (bebas dari ikatan keduniawian).
3.  Trikayaparisudha. Tiga kelompok besar yang patut dijaga yaitu: Kayika (perbuatan yang benar: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina), Wacika (perkataan yang benar: tidak mencaci, tidak berkata keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji), Manacika (pikiran yang benar: tidak menginginkan sesuatu yang adharma, tidak berpikir buruk pada orang/ mahluk lain, percaya adanya karmaphala)
4. Caturpurusartha. Empat tujuan hidup: Dharma (kebaikan di jalan Ida sanghyang Widhi Wasa), Artha (pemenuhan kebutuhan benda-benda duniawi), Kama (kenikmatan hidup), dan Moksa (kebebasan abadi).
5.  Caturmarga. Empat jalan manusia bersujud ke Ida Sanghyang Widhi Wasa: Bhaktimarga (pasrah), Karmamarga (kerja), Jnanamarga (belajar agar mengetahui kebesaran-Nya), Rajamarga (menggelar tapa-brata-yoga-samadi).
6. Yamabrata: Usaha-usaha mengendalikan diri yaitu anrsamsa (tidak egois), ksama (memaafkan), satya (jujur), ahimsa (tidak menyakiti), dama (sabar), arjawa (tulus), pritih (welas asih), prasada ( berpikiran suci), madhurya (bermuka manis), mardawa (lemah lembut).
7.  Niyamabrata: Janji pada diri sendiri untuk berlaku dharma yaitu dana (dermawan), ijya (bersembahyang), tapa (mengekang nafsu jasmani), dhyana (sadar pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa), swadhyaya (belajar), upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex), brata (mengekang indria), upawasa (mengendalikan makan/ minum), mona (mengendalikan kata-kata), snana (menjaga kesucian lahir bathin)
8. Sadripu: mengendalikan enam musuh yang ada di diri sendiri: kama (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), moha (angkuh), matsarya (dengki irihati).
9. Sadatatayi: menghindari enam kekejaman: agnida (membakar), wisuda (meracun), atharwa (menenung), sastragna (merampok), dratikrama (memperkosa), rajapisuna (memfitnah).
10.         Saptatimira: menghindari kemabukan-kemabukan karena surupa (cantik/ tampan), dana (kaya), guna (pandai), kulina (wangsa), yowana (remaja), kasuran (kemenangan), sura (minuman keras).
Bila manusia terlanjur berbuat dosa, petunjuk-petunjuk yang ada pada beberapa kitab-kitab/ lontar di bawah ini dapat digunakan sebagai pegangan:
Kitab Parasara Dharmasastra yang dianggap cocok untuk zaman kaliyuga sekarang ini, memuat beberapa ketentuan bila seseorang terlanjur berbuat dosa yang disebabkan antara lain karena:
1.   Kelahiran dan kematian yang tidak wajar
2. Berzina
3.  Digigit binatang tertentu
4. Membunuh
5.  Mencederai sapi
6. Makan makanan terlarang
Ketentuan yang diatur dalam kitab itu hanyalah proses pensucian diri, bukan penebusan dosa.
Lontar Wrhaspati Tattwa menyatakan tiga kegiatan pokok yang perlu dilakukan bila seseorang ingin mencapai kelepasan:
1.   Jnanabhyudreka: mengetahui semua tattwa Agama.
2. Indriyayogamarga: tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu.
3.  Trsnadosaksaya: menghilangkan pahala dari perbuatan baik dan buruk.
Kitab Upanisad Utama, Brahmana ke-15 bagi manusia yang akan meninggal dunia, ucapkan mantram-mantram ini di telinganya:
hiranmayena patrena satyasyapihitam mukham,
tat tvam, pusan, aparnu, satya dharmaya drstaye,
Artinya: wajah kebenaran ditutup oleh piring emas; bukalah ini o Pusan sehingga aku yang mencintai kebenaran bisa melihat.
pusann, ekarse, yama, surya, praja-patya,
vyuha rasmin samuha tejah,
yat te rupam kalyanatamam,
tat te pasyami yo sav asau purusas, so ham asmi,
Artinya: Pusan yang tunggal melihat, pengendali, o matahari putra dari prajapati sebarkanlah sinarmu dan kumpulkanlah sinarmu yang gemerlapan sehingga aku melihat di-Kau dalam bentukmu yang paling indah.
vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram,
aum krto smara, krtam smara, krato smara, krtam smara,
Artinya: semoga hidup ini memasuki nafas yang abadi kemudian semoga tubuh ini berakhir menjadi abu, o buddhi ingatlah, ingatlah apa yang telah diperbuat.
agne naya supatha, raye asman, visvani, deva, vayunani vidvan, yuyodhy asmaj juharanam eno, bhuyistham te namauktim vidhema.
Artinya: agni tuntunlah kami pada jalan yang baik kearah kekekalan, o Tuhan yang mengerti semua perbuatan-perbuatanku, ambilah semua dosa dariku, kami akan menghadap-Mu.
Lontar Siwaratrikalpa karangan Mpu Tanakung yang diilhami oleh Purana-purana sanskerta: Padma, Siwa, Skanda, dan Garuda, menokohkan Lubdhaka sebagai orang yang sadar pada dosa-dosanya di masa lalu kemudian di hari Siwaratri (panglong ping 14 tileming kapitu) tanpa sengaja ia membangun tapa-brata-yoga-samadi, dianggap sebagai langkah kesadaran dharma karena membangun tapa-brata-yoga-samadi bersamaan dengan waktu Bethara Siwa beryoga samadi untuk kesejahteraan jagat raya beserta isinya.
Setelah Siwaratri, Lubdhaka tidak pernah lagi melakukan perbuatan-perbuatan adharma. Ketika Lubdhaka meninggal dunia, kesadaran dharmanya dinilai positif oleh Bethara Yama sehingga Lubdhaka masuk sorga. Manusia Hindudiharap meniru apa yang dilakukan Lubdhaka.
KESIMPULAN
Dosa tidak dapat ditebus atau dihapus, namun dosa atau perbuatan adharma dapat diimbangi dengan perbuatan dharma sehingga diharapkan terjadi keseimbangan yang relatif lebih mengunggulkan dharma.
Diibaratkan dosa itu bagai sinar matahari yang terik, bila berhembus angin rasa panasnya akan berkurang. Angin itu ibarat perbuatan-perbuatan dharma.
Sarasamuscaya sloka ke-16:
yathadityah samudyan wai tamah, sarwwam wyapohati, ewam kalyanamatistam sarwwa, papam wyapohati.
Laksana sifat surya, begitu terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang mengusahakan dharma akan menghilangkan segala macam penderitaan.
JAUHKAN PERBUATAN-PERBUATAN ADHARMA DAN BERBUATLAH DHARMA SEBANYAK-BANYAKNYA!
oleh: Bhagawan Dwija
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/mebat.jpg
HARI ini, sehari sebelum hari raya Galungan umat Hindu di Bali umumnya menyiapkan perayaan Galungan dengan memotong hewan seperti ayam dan babi untuk pesta perayaan Galungan. Pengertian itu sesungguhnya suatu pemahaman yang sangat awam, namun hal itulah yang jauh lebih mentradisi daripada arti sesungguhnya Penampahan Galungan itu.
Penampahan Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Makna dari prosesi ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnyana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buru. Mana yang patut dan mana yang tidak patut.
Dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma. Jadi penyembelihan ayam dan babi itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti babi. Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif. Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah yang mungkin masih melekat dalam diri kita. Dengan demikian saat Galungan berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.
Salah satu sumber penderitaan umat manusia di dunia ini adalah karena sering dibelit oleh sifat malas namun serakah. Ingin hidup enak dan senang tetapi malas berusaha. Inilah musuh manusia yang sering menyelinap dalam dirinya. Dalam merayakan hari raya Galungan sebagai hari untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menyadari dirinya sering kalah melawan kemalasan dan keserakahan. Sebagai akibatnya manusia pun menderita karena sering kalah melawan sifat malas dan serakah itu. Karena itu, dalam perayaan Galungan secara terus-menerus diingatkan agar selalu waspada pada dua sifat yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan yang menderita.
Kemalasan dan keserakahan berasal dari Guna Tamas dan Guna Rajah. Sesungguhnya Guna Tamas dan Rajah itu akan menjadi positif apabila dapat dikendalikan oleh Guna Sattwam. Guna Tamas dan Guna Rajas itu akan menunjukkan aspek positifnya kalau ia berada di bawah kendali Guna Sattwam.
Karena itulah salah satu yang diingatkan dalam perayaan Galungan adalah melakukan Ngerebu saat upacara Sugian. Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang Guna Sattwam. Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna Sattwam-nya. Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnyana nirmalakna. Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri. Dari semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Selanjutnya marilah buktikan dalam perayaan Galungan ini kita menang. Bagaimana membuktikannya, cobalah mulai kita menangkan produk lokal untuk digunakan sebagai sarana upacara dalam merayakan Galungan. Meskipun kualitas dan kuantitasnya masih kalah dengan produk import. Penggunaan produk lokal itu akan mendorong kita untuk mengupayakan agar produk lokal hasil karya sendiri itu lebih diupayakan peningkatan mutu dan kuantitasnya. Gunakanlah sarana hasil daerah kita untuk merayakan Galungan seperti buah-buahan, bunga-bungaan, demikian juga sarana-sarana lainnya.
Buktikanlah selama perayaan Galungan makin kecil jumlah umat yang mabuk karena merayakan Galungan. Tidak ada yang kebut-kebutan di jalan raya saat Galungan. Bahkan kita mampu menunjukkan selama perayaan Galungan pelanggaran lalu lintas menurun drastis. Merayakan Galungan dengan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu, jelas suatu kekalahan.
Kalau masih merayakan hari raya keagamaan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu jelas angka-angka negatif akan lebih menonjol dari angka-angka positif. Misalnya setiap perayaan Galungan justru statistik pelanggaran lalu lintas meningkat. Jumlah orang berkelahi karena mabuk justru meningkat saat-saat merayakan Galungan. Jumlah pengotoran lingkungan semakin banyak. Usai hari raya Galungan justru lingkungan lebih kotor dari sebelumnya. Demikian juga orang masuk rumah sakit lebih meningkat saat Galungan karena pesta-pesta yang salah kaprah.
Merayakan Galungan untuk memenangkan Dharma justru harus diupayakan dengan sadar untuk membalik angka-angka negatif menjadi angka-angka positif. Demikian juga perayaan Galungan dijadikan momentum melakukan gerakan untuk mengatasi problem sosial. Misalnya gerakan untuk tidak menjadikan tempat suci sebagai arena judi, minum-minuman keras dan pesta-pesta pora yang berlebihan.
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/card_blue_galungan_03.jpg
TRADISI beragama Hindu di Bali wujudnya sangat lokal Bali. Tetapi, di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang universal. Galungan, misalnya, yang segera akan dirayakan umat Hindu, dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja. Nilai yang dikandungnya tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu saja. Nilai yang universal diwujudkan dengan budaya lokal, agar nilai global universal itu lebih mudah diaktualkan dalam kehidupan sosial yang kontekstual dengan perkembangan ruang dan waktu. Nilai-nilai moral yang universal dalam perayaan Galungan tersurat dan tersirat dalam teks kitab sastra. Teks penjelasan Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama. Dalam teksnya ada yang tersurat pesan moral yang universal dan ada juga yang tersurat untuk aplikasi lokal. Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena biaparaning idep. Artinya, Galungan adalah memusatkan (patitis) pengetahuan suci (jnyana) untuk mendapatkan kekuatan yang terang (galang apadang) untuk menghilangkan kegelapan hati (mariakena biaparaning idep). Pesan moral yang universal itulah hendaknya terus-menerus kita renungkan sebagai intisari perayaan Galungan. Hal ini untuk menghindari perayaan Galungan berhenti pada kegiatan yang lebih menekankan pada hura-hura tanpa makna. Kemeriahan dan keindahan dalam merayakan Galungan memang sepatutnya kita wujudkan. Namun, kemeriahan dan keindahan itu hendaknya sebagai pengejawantahan dari pesan moral universal dari Galungan. Karena itu, sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan dan penampahan. Semua istilah tersebut kedengarannya sangat lokal Bali. Tetapi, kalau kita runut teksnya ternyata mengandung nilai yang benar-benar universal.
Sugian ada tiga kali. Budha Pon wuku Sungsang Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut dan seterusnya.
Kalau kesadaran itu dasarnya kita tidak terjebak untuk mengikuti tradisi yang sesat, justru yang harus diperkuat, tradisi yang berdasarkan kebenaran (Dharma) Wrehaspati Wage wuku Sungsang Sugian Jawa. Jawa dalam hal ini artinya jaba, di luar diri kita. Dalam lontar Sunarigama dinyatakan: Sugian Jawa mratistha bhuwana agung. Artinya, Sugian Jawa itu menyucikan bhuwana agung. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Sugian Bali mratistha raga tahulan. Artinya, Sugian Bali adalah sebagai media untuk menyucikan diri pribadi.
Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan. Dalam lontar dinyatakan: embang Sugian anyekung jnyana nirmalakna. Artinya, mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan: matirtha Gocara. Artinya, memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan. Upacaranya natab banten sesayut pamiakala laramelaradan yang disebut Sesayut Penampahan. Natab banten ini sebagai lambang peningkatan rohani dalam tahap Wiweka Jnyana. Artinya, kondisi rohani yang sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Nampah dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Galungan.
Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau unggul. Mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Untuk itu haruslah menempuh tahapan-tahapan hidup seperti yang dilukiskan dalam merayakan Galungan. Dari kesadaran diri, membenahi kesejahteraan alam (Bhuta Hita), membina kesucian diri, mengkonsentrasikan kesucian diri dan memohon restu pada Tuhan. Terpadunya kekuatan perjuangan manusia dengan anugerah Tuhan itulah yang akan membawa kemenangan dalam hidup ini.
Nilai-nilai itulah yang harus dijadikan membangun kondisi hidup yang harus diperjuangkan pada setiap Galungan. Lebih-lebih di zaman global ini godaan dan tantangan hidup semakin besar dan multi dimensi. Karena itu Galungan adalah salah satu tonggak peringatan setiap enam bulan agar manusia jangan sampai lupa akan nilai-nilai moral universal yang dikandung oleh tahapan-tahapan perayaan Galungan. Nilai-nilai perayaan Galungan yang tersurat dalam sastra itulah yang lebih utama kita renungkan dalam setiap merayakan Galungan.
Hari raya artinya, hari yang kita rayakan atau besarkan serta utamakan nilai-nilai hakikinya untuk direnungkan lebih dalam. Dari perenungan itu kita wujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjalani tahapan hidup.
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/galungan_5.jpg
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idรฉp, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti.
Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan.
Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.
Kesimpulan:
Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa. Terangkan hati, agar menjadi ร‡ura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.  Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.  Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.
Om, sampurna ya nama swaha.
Om, sukham bhawantu.
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/galungan_3.jpg
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jรฑana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
“Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran.”
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
——————————————————————————–
©Raditya2002
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/sugihan.jpg
Lebih jauh tentang ”Sugihan”
Saatnya Mulai Mengurangi Aktivitas Duniawai
HARI raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panji Malat Rasmi dan Lontar Pararaton di Kerajaan Majapahit. Di India perayaan semacam ini dinamakan hari raya Crada Wijaya Dasami. Di Bali, keberadaaan hari raya Galungan beserta rangkaiannya dipertegas lagi dalam Lontar Jayakasunu yang ada pada era pemerintahan Raja Sri Jayakasunu. Sebelumnya perayaan Galungan sempat ditiadakan yang ternyata mengakibatkan banyak rakyat pada waktu itu mengalami penderitaan.
Hari raya Galungan seperti diketahui memiliki rangkaian yang dimulai jauh sebelum hari raya itu sendiri. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan.
Dengan demikian bisa dikatakan sugihan termasuk salah satu rangkaian upacara menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu
1. Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2. Sugihan Jawa
3. Sugihan Bali.
Karena mengikuti perhitungan wuku, masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali. Ketiga sugihan secara berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang  disebut Sugihan Pangenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam mitologinya berhubungan dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada Empu Kuturan dan usaha untuk mengangkat salah satu putra Raja Erlangga untuk menjadi raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan tanpa permisi untuk kembali ke Daha.
Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri. Karena itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.
Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.
Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.
Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi. Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang berlebih-lebihan.
Aktivitas ”Ngelawang”
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/barong_ngelawang.jpg
Salah satu cara mencapai tujuan yang dimaksud, di beberapa daerah di Bali pada saat Sugihan Pangenten ini melaksanakan kegiatan ngelawang yaitu memakai barong dengan mengelilingi wilayah desa adatnya. Malahan ada yang sampai ke luar jauh dari wilayah desanya dengan melewati tiap lawang (pintu rumah penduduk) agar bhuta dengan segala kekuatannya kembali ke tempatnya yang semula.
Dalam filosofi Hindu, munculnya para bhuta adalah akibat kekeliruan pelaksanaan manusia dalam kehidupannya, sehingga pada saat itu Dewa Trimurti menciptakan para bhuta. Dewa Brahma diutus menjadi topeng bang, Dewa Wisnu menjadi telek dan Dewa Siwa menjadi barong. Selanjutnya dalam ngelawang ini barong itulah di-iring untuk menyelamatkan manusia terhadap godaan para bhuta dalam kehidupannya.
Sehari setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa. Makna sugihan ini adalah hari penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan melakukan pemujaan di tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian dimaksud dilakukan secara sekala dan niskala. Bagi para wiku, sadaka, hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa mantra. Sedangkan para yogin melakukan yoga semadi.
Selain penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan upacara marerebu di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan upacara pembersihan atau pangeresikan. Memakai sarana bunga harum. Adapun tujuannya adalah menstanakan para dewa dan pitara.
Upakara-upakaranya disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci yang ada. Untuk palinggih termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah kemulan, taksu, panunggun karang dan lain-lainnya yang sejenis memakai pembersih (pangeresikan) berupa canang burat wangi lenga wangi, tirtha, dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina (disesuaikan dengan desa kala patra)
Palinggih yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi. Sementara penyucian secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas satu tumpeng guru dengan alas kulit sesayut yang puncaknya diisi telur itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua sorohan alit 9 peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu, pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas daging ayam dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan kemampuan.
Jumlah tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang akan diupacarai marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan sejenisnya menurut tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi guling. Setelah dilaksanakan pembersihan secara sekala barulah dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu mengaturkan upacara pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan, diusahakan memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di jaba atau halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan arak berem.
Sugihan Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendirri bhuwana alit. Upacara khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian, pada hari ini perlu dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan kehadapan sang sadaka atau sulinggih. Selain itu umat Hindu juga hendaknya melakukan sembah sebagaimana layaknya pada hari-hari kajeng kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan sugihan ini hendaknya dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.
* Winata dari berbagai sumber
Sugihan Jawa dan Bali
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/galungannyepi-lan-kuningan.jpg
Hari ini, Jumat, Kliwon, Sungsang, 9 Oktober, disebut Sugihan Bali. Sedangkan Kamis (8/10), disebut Sugihan Jawa. Banyak umat Hindu masih bingung, merayakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata Jawa dan Bali adalah nama tempat. Pada hal tidak. Kata Jawa di sini berarti “jaba” yang artinya di luar.
Dengan demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.
Kemudian pada hari Sugihan Bali, umat Hindu menghaturkan sesaji yang pada intinya melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.
Pada hari ini sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra yakni dengan pergi ke samudera — sumber mata air atau bisa di merajan. Dalam praktik yoga umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat sarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria.
Dengan demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian.
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/bulan.jpg
Hari Sabtu 3 Oktober 2009 (Saniscara Wage wuku Julungwangi) yang bertepatan dengan Purnama sasih Kapat, bagi umat Hindu dimanapun berada merupakan hari yang di sucikan. Purnama Kapat di yakini oleh masyarakat Bali sebagai hari raya suci untuk melaksanakan Dewa Yadnya. Diyakini, selama satu bulan ke depan sejak purnama, vibrasi dari dewasa baik ini, masih pada siklus kartika massa. Momen ini di Bali disambut sebagai hari penuh berkah dan kesucian.
Di mana-mana, di pura-pura seluruh Bali termasuk di luar Bali dilaksanakan piodalan di saat Purnama sasih Kapat ini. Di antaranya di Pura Padmasana Penataran Agung Besakih, Pura Lempuyang Madya, Pura Pulaki, Pura Tirta Empul. Pura Agung Dalem Tarukan Pejeng -Tampaksiring, Pura Rambut Siwi, Pura Batu Bolong Canggu Kuta, Pura Srijong Tabanan, Pura Lempuyang Madya, Pura Puncak Mundi Nusa Penida, Pura Penataran Ped, Pura Kahyangan Jagat Kancing Gumi, Pura Bhatara Tiga Sakti Penataran Besakih, Pura Pulaki Buleleng, Pura Tirta Empul Tampak Siring, dan Pura Ulun Danu Batur di Songan Kintamani. Selain itu, piodalan juga dilaksanakan pada berbagai pura paibon, kawitan maupun merajan.
Selain di Bali, umat Hindu di luar Bali juga menggelar piodalan di saat Purnama sasih Kapat ini seperti Pura Dukuh Segening Swantika Buana, Seputih Banyak Lampung Tengah, Pura Puseh Desa Mantawa Toili Sulawesi Tengah, Pura Penataran Agung Taman Mini Indonesia Indah Jakarta Timur, Pura Agung Surya Bhuana, Skyline Jaya Pura Papua, Pura Puseh Werdi Agung Demoga Bolang Mangondow Sulawesi Utara, Pura Meru Cakra Lombok, Puseh Werdi Agung, Demoga, Bolaang Mangondow, Sulut, Putra Satria Darma, Dompu. Pura Giri Kusuma, Sulsel, Pura Penataran Kerta Bumi.
Demikianlah Purnama sasih Kapat itu jika ditelaah dari konsep lunar-solar sistem, bulan-matahari. Keberadaan bulan kebetulan persis berada pada posisi garis lurus di atas katulistiwa. Jadi pada momen fenomena alam seperti itu, bulan bersinar penuh. Secara filosofis sangat baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya.
3 Oktober 2009 Hari Penyatuan Jerman
Lain di Bali lain Pula di Jerman. Pada hari Sabtu 3 Oktober 2009 kemaren masyarakat Jerman merayakannya bukan dalam rangka Purnama Kapat, melainkan merayakan penyatuan kembali Negara Jerman (Deutsche Wiedervereinigung) dan merupakan hari libur nasional. Hari libur nasional ini mulai terjadi sejak tanggal 3 Oktober 1990, ketika mantan daerah Republik Demokratis Jerman (Jerman Timur) digabungkan ke dalam Republik Federal Jerman (Jerman Barat) . Dan enam negara bagian Jerman Timur (Bundeslรคnder); Brandenburg, Mecklenburg- Vorpommern, Sachsen, Sachsen-Anhalt, Thรผringen, dan Berlin bersatu secara resmi bergabung dengan Republik Federal Jerman (Jerman Barat).
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/bradenburg-gate-0.jpg
Masyarakat Jerman merayakan “hari suci” 3 Oktober mereka dengan mengunjungi tempat bersejarah yang merupakan saksi bisu sejarah penyatuan Jerman yang masih tersisa hingga saat ini yaitu sisa Tembok Berlin dan pusat kota Berlin di sekitar Pintu Branderburg. Diantara kerumunan masyarakat yang mengunjungi sisa tembok berlin dan Pintu Branderburg di Berlin, mungkin ada juga beberapa Nyama Braya Bali yang kebetulan berdomisili di Berlin atau Nyama Braya Bali yang berdomisili di Jerman.
3 Oktober 2009 Nyama Braya Bali di Jerman dan Bali Puspa
Bagaimana dengan komunitas masyarakat Bali yang berdomisili di Jerman di daerah Kรถln dan sekitarnya? Komunitas masyarakat Bali yang tergabung dalam organisasi Nyama Braya Bali melewati 3 Oktober 2009 ini dengan kegiatan latihan bersama “megambel dan menari” dalam rangka persiapan merayakan Hari Kuningan yang akan datang pada tanggal 24 Oktober 2009.
Seperti latihan sebelumnya yang dilaksanakan dihari Sabtu 19 September 2009, latihan 3 Oktober 2009 inipun juga mencoba menseragamkan gerak tangan para penari agar sesuai dengan irama gamelan bali, yang di pimpin oleh Made Agus Wardana (pelatih gambelan dari Belgia yang khusus datang ke Kรถln dalam rangka mensukseskan Perayaan Kuningan di frankfurt 24 Oktober 2009).
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/image115.jpg
Tarian yang di latih kembali, selain Tari Janger dan Tari Genjek seperti tampak pada photo diatas, adalah Tari Rejang Dewa, Tari Pendet, Tari Sekarjagat, Tari Margapati, dan Tari Joged Bumbung. Latihan Tari Joged Bumbung saat itu terasa meriah dan lucu sekali dengan gerakan tarian yang diperagakan oleh Ni Luh Arminingsih yang biasa di panggil dengan sebutan Mbok Mimik dipadukan dengan gamelan tingklik bambu berlaras Slendro yang dimainkan oleh Made Agus Wardana. Saya yakin disaat pemantasan di perayaan kuningan 24 Oktober 2009 nanti di Offenbach penonton akan dibuat kagum akan banyaknya jenis tarian Bali yang diperagakan oleh sanggar tari Bali Puspa.
Seperti biasa pemilik sanggar tari Bali Puspa, yaitu Bli Made Sukasta Mindhoff dan Nyoman Suyadni Mindhoff selalu ramah dalam menjamu setiap orang yang berkunjung kerumahnya, baik itu untuk tujuan bertamu maupun untuk tujuan berlatih. dalam kunjungan yang kedua kali ini kerumah Bli Made Sukasta, saya dapati masakan khas bali lagi yang memang terkenal lezat dengan menu utamanya, lawar urab, sate kelapa, Babi Guling, dan lain-lain. Nyama Braya Bali yang berlatih di rumah Bli Made Sukasta selalu di manjakan dengan masakan lezat ini sehingga kelelahan karena perjalanan jauh dari stuttgart dan dari Frankfurt sirna lenyap terbawa terbang bersama aroma masakan serta aroma kopi bali.
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/10/bali_puspa.jpg
Akhir kata. saya selaku wakil dari panitia perayaan Kuningan 24 Oktober 2009, mengucapkan syukur dan terimakasih akan kebaikan serta ketulus ikhlasan dari keluarga Mindhoff dan sanggar Bali Puspa untuk ngayah mensukseskan jalannya Perayaan Kuningan di Offenbach nanti. Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa selalu memberikan kelancara rejeki dan kesehatan kepada keluarga Mindhoff dan Sanggar Bali Puspa.
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/09/bali.jpg
Memaknai Tumpek Bubuh 19 September 2009—-
Bersyukur dan Menghargai Ciptaan Tuhan
Sabtu Kliwon 19 September 2009, umat Hindu kembali memperingati Tumpek Wariga. Tumpek yang memiliki nama cukup banyak — Tumpek Uduh, Tumpek Bubuh dan Tumpek Pengatag — itu sangat erat kaitannya dengan dunia pertanian. Secara ritual, pada hari itu umat melaksanakan upacara persembahyangan ke hadapan Batara Sangkara — manifestasi Tuhan dalam menciptakan kesuburan tumbuh-tumbuhan. Dalam konteks kekinian, perayaan hari keagamaan seperti itu tentu tidak hanya berhenti pada kegitan ritual semata. Lebih dari itu, umat dituntut untuk mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Tumpek Bubuh dalam kehidupan sehari-hari.
==================================================
Sesungguhnya, perayaan Tumpek Bubuh salah satu komponen penting dalam mengajegkan konsep Tri Hita Karana. Salah satu unsur penting dalam konsep itu adalah hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya — dalam kaitan ini hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan. ”Ajaran yang terkandung dalam Tumpek Bubuh ini sangat luhur. Umat bukan hanya mesti menghargai ciptaan Tuhan, tetapi sekaligus melestarikan tumbuh-tumbuhan yang telah mensejahterakan kehidupannya,” kata tokoh agama Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.
Alasannya, jika lingkungan khususnya tumbuh-tumbuhan secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan kebutuhan maka manusia akan menjadi sangat menderita. Karena itu, sangat wajar umat memberikan dukungan sepenuhnya kepada petani.
Tumbuh-tumbuhan, kata Jendra, telah memberikan banyak manfaat bagi umat manusia. Tumbuh-tumbuhan memberikan prana berupa oksigen, keteduhan, perlindungan dan sumber makanan bagi manusia. Bahkan, dalam Canakya Nitisastra dan sumber-sumber lainnya disebutkan, sesungguhnya hidup manusia dengan lingkungan saling mengisi atau saling melengkapi yang dikenal dengan istilah simbiosis mutualisme.
Jika lingkungan mengalami disharmoni, tentu akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Misalnya, jika hutan yang tersedia mengalami kegundulan akibat adanya penebangan liar, maka uap air sebagai cikal bakal hujan tidak akan bisa menghendap. Demikian juga bila terjadi hujan lebat, akan terjadi banjir besar karena tidak ada pohon yang menahan air.
Dikatakan, ditinjau dari nuansa religius spiritual, tumbuh-tumbuhan adalah evolusi lebih awal dari kehidupan manusia. Hal itu diakui oleh Darwin dan Maharsi Patanjali. Ditinjau dari kebutuhan manusia akan makanan, tumbuh-tumbuhan telah memberi penghidupan.
Karena itu, Tumpek Wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Apalagi, di Bali saat ini hutan-hutan mulai gundul, bahkah kini telah ditebang untuk pemukiman. Ini tentu akan sangat mengganggu ekosistem yang ada.
Pada Tumpek Bubuh itu manusia memberi penghargaan dan kasih sayang terhadap tumbuh-tumbuhan agar berbuah banyak, berbunga lebat dan berumbi untuk kepentingan yadnya –persembahan kepada Tuhan pada hari raya Galungan, 25 hari setelah Tumpek Bubuh.
Dikatakan, banyak yang beranggapan bahwa Tumpek Bubuh hanya ”milik” para petani di pedesaan, sehingga para pegawai tidak perlu merayakannya. Anggapan semacam ini sangat keliru karena pengertian Tumpek Bubuh tidak sesempit itu. Umat manusia, termasuk para pegawai, mesti sadar bahwa mereka juga hidup karena tumbuh-tumbuhan — kendati untuk membeli buah, sayur dan beras, mereka cukup menyediakan uang dari hasil kerjanya. ”Pernahkah kita mendoakan agar petani bisa hidup berbahagia,” tanya Jendra.
Sesungguhnya pula, kata Guru Besar Fakultas Sastra Unud ini, aplikasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tumpek Bubuh bukan hanya untuk kepentingan umat Hindu, tetapi juga umat lain. Tanpa tumbuh-tumbuhan, umat manusia tidak akan bisa hidup. ”Jadi nilai yang terkandung dalam Tumpek Bubuh sangat universal. Karena itu, melalui perayaan Tumpek Bubuh, umat manusia mengucap syukur kepada Tuhan karena telah diberi kehidupan,” ujarnya.
Ketika nilai-nilai Tumpek Bubuh dihubungkan dengan wacana kembali ke dunia pertanian — pascaledakan bom Kuta — sesungguhnya sesuatu yang memang harus mengacu ke sana. Lagi pula, kata Jendra, pariwisata dan pertanian sangat erat hubungannya. Pariwisata sangat ditunjang oleh pertanian. Hasil pertanian sangat menunjang sektor pariwisata. Oleh karena itu, pertanian memang harus tetap dibinakembangkan secara intensif dengan menggunakan teknologi modern. Dengan demikian, dunia pertanian betul-betul memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, khususnya para petani.
Metode
Sementara itu, Kakanwil Agama Propinsi Bali Drs. I Gusti Made Ngurah mengatakan, peringatan Tumpek Bubuh merupakan semacam metode untuk mengucap syukur kepada Tuhan karena telah diciptakan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan telah memberikan kehidupan bagi umat manusia. Karena itu, umat wajib mengaturkan rasa angayubagia kepada Tuhan, melalui ritual Tumpek Bubuh.
Melalui peringatan itu, umat diingatkan dan disadarkan kembali bahwa dunia pertanian memang penting. ”Jadi, peringatan Tumpek Bubuh bisa dikatakan semacam metode untuk menyadari manusia akan pentingnya tumbuh-tumbuhan,” katanya.
Melalui perayaan itu umat mengaturkan rasa bakti kepada Tuhan karena telah diciptakan beragam tumbuh-timbuhan yang telah banyak membantu kehidupan manusia.
Dalam konteks wacana mesti kembali ke pertanian, kata mantan Direktur APGAH — sekarang STAH itu — seolah-olah umat sudah melupakan kawitan, ajaran asal yang adilihung. Padahal, dunia pertanian mesti tetap terpelihara. Dunia yang telah memberi kehidupan ini hendaknya tetap dibina dan dilestarikan. Kita hidup dan berkembang seperti sekarang karena tumbuh-tumbuhan. (lun)
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/09/jatiluwih.jpg
Renungan Tumpek Uduh
Lestarikan Alam Tak Ubahnya Rawat Diri Sendiri
Setiap rerahinan gumi di Bali sesungguhnya mengandung ajaran atau pesan yang amat mulia. Termasuk, rerahinan Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag atau dikenal juga dengan sebutan Tumpek Wariga, Sabtu (19 September 2009 ) hari ini. Rerahinan yang jatuh setiap enam bulan itu mengandung pesan pelestarian alam. Karena itu, alam perlu dirawat agar lestari. Mengawal atau melestarikan alam (makrokosmos) tak ubahnya merawat diri sendiri (mikrokosmos).
DOSEN IHDN Denpasar Drs. Made Girinata, M.Ag. dan Drs. Made Surada, M.A. mengatakan, pada rerahinan Tumpek Uduh ini umat memuja Dewa Sangkara, manifestasi Tuhan penguasa tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan yang diciptakan Ida Sang Hyang Widhi itu sangat berguna bagi kehidupan manusia. Karena itu, umat mesti bersyukur kepada Sang Pencipta, melalui ritual Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga. Dalam konteks itu yang dipuja bukanlah tumbuh-tumbuhan, tetapi umat mengaturkan bakti kepada Tuhan yang telah memberi kekuatan atau kesuburan hidup berbagai tumbuhan. Pada Tumpek Uduh, umat umumnya mengaturkan sesajen pada pohon-pohon produktif, seperti kelapa, pisang dan pohon buah-buahan lainnya - -mengucap puji syukur ke hadapan Tuhan. Pohon-pohon itu diupacarai mewakili tumbuh-tumbuhan yang lain, karena paling sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari atau paling ‘dekat’ dengan kehidupan umat manusia.
Girinata yang Dekan Fakultas Dharma Acarya IHDN ini menambahkan, tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang ada di alam semesta ini sangat membantu umat manusia. Bisa dibayangkan, jika umat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan. Karena itu, ada etika dalam pemanfaatannya. Misalnya, ketika umat Hindu di Bali menebang pohon, ada etika yang mesti dijalankan. Sebelum pohon ditebang, umumnya umat memohon izin dulu kepada Tuhan. Setelah pohon ditumbangkan, bekas potongan itu ditancapkan ranting atau pucuk pohon. Ini sesungguhnya mengandung makna simbolik bahwa umat diingatkan melakukan penanaman kembali. Satu pohon ditebang, paling tidak di bekas tebangan itu ditanami satu pohon baru.
Hal senada dikatakan Made Surada yang Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN. Melalui ritual Tumpek Wariga, umat Hindu sesungguhnya diingatkan agar tetap melestarikan alam. Di Bali, pesan pelestarian alam itu dikemas dengan teologi dan budaya lokal yakni Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh. Sebab, jika alam rusak, dampaknya akan buruk bagi kehidupan manusia.
Dalam Weda disebutkan, tumbuh-tumbuhan dan air adalah pelindung manusia. Bahkan, dalam Reg Weda disebutkan, tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa yang sama dengan manusia. Karena itu kita mesti menjalankan ajaran tatwam asi dalam memperlakukan alam. Jika alam rusak atau sakit, kita wajib mengobatinya atau merawatnya. Merusak alam berarti juga menyakiti diri sendiri. Karena itu peliharalah alam agar terjadi keharmonisan. Tumbuh-tumbuhan juga penghasil O2 yang amat diperlukan oleh manusia. ‘Dalam konteks mengantisipasi terjadinya pemanasan global (global warming), tampaknya spirit Tumpek Uduh penting dimaknai,’ kata Girinata dan Surada.
Sementara itu, dosen Unud yang Ketua Umum Pasemetonan Pangeran Mas Dalem Blambangan Provinsi Bali Ir. Ida I Dewa Oka Widyarshana, M.Si. sempat mengatakan, benteng kokoh spiritual yang senantiasa melandasi perikehidupan kita adalah tatwam asi. Spirit tatwam asi itulah yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam memperlakukan alam semesta (bhuwana agung) ciptaan Hyang Widhi Wasa. Menjaga dan mengawal bhuwana agung tak ubahnya merawat dan memelihara diri sendiri (bhuwana alit). Hal itu dikatakan Widyarshana saat Mahasabha I Pasemetonan Pangeran Mas Dalem Blambangan Provinsi Bali di Wantilan Pura Dalem Jawi, Puri Agung Bunutin, Bangli, Minggu lalu. (08)
Posted by Adnyana under Hari Raya Hindu
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/08/otak1.jpg
Memaknai Tumpek Landep 15 Agustus 2009
Mempertajam Pikiran, Mengasah Kepekaan Nurani
SANISCARA Kliwon Wuku Landep atau Sabtu 15 Agustus 2009, umat Hindu merayakan Tumpek Landep.Aktivitas yang tampak mencuat, umat Hindu di seluruh Bali mengeluarkan segala jenis senjata, benda pusaka maupunperalatan lainnya yang mengandung unsur logam lantas diupacarai. Padahal, hakikat perayaan Tumpek Landepsejatinya tidak sesederhana itu. Di dalamnya terkandung beragam kedalaman filosofi dan tuntunan hidup yangmenggerakkan umat manusia untuk menapaki kehidupannya dengan lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.
======================================================
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Drs. I Wayan Suka Yasa, M.Si. dan KasubdinAdat dan Istiadat Dinas Kebudayaan Bali Drs. IDP Beratha, M.Si. tidak menampik bahwa umat Hindu di Bali seringkalimemaknai perayaan Tumpek Landep ini secara dangkal. Hanya terfokus mengupacarai senjata dan peralatan hiduplainnya seperti kendaraan bermotor, peralatan eklektronik dan sejenisnya.
“Seharusnya, Tumpek Landep ini dimaknai sebagai momentum berharga untuk nyelisik bulu, instrospeksi dan bersiapdiri menata kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya berhenti pada upacara semata,” kata Suka Yasa yang dibenarkanoleh Beratha.
Dalam perayaan Tumpek Landep, kata kedua sumber Bali Post ini, Ista Dewata yang dipuja adalah Batara Siwa dalammanifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pasupati (pasu = binatang, pati = raja atau raja binatang - red). Muara dariaktivitas spiritual ini, umat Hindu diharapkan mampu mengatasi dan mengendalikan sifat-sifat binatang dalam diri(sadripu) yakni kama (nafsu negatif), krodha (kemarahan), mada (kemabukan), lobha (kerakusan), irsya (iri/dengki)dan moha (kegelapan bathin). “Dalam konteks perayaan Tumpek Landep, sifat-sifat binatang itulah yang mestidieliminasi,” ujar Beratha.
Kualitas Diri
Mengutip Lontar Sunarigama, Suka Yasa mengatakan tujuan pemujaan dalam Tumpek Landep adalah astawakena ringsarwa sanjata lelandeping prang. Yakni, memuja Sang Hyang Pasupati untuk memohon agar senjata/peralatan hidupyang dipakai untuk berperang/berusaha menjadi bertuah atau dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tajam danberguna. Dalam lontar itu juga disebutkan ikang wang apasupati landeping idep yang menyiratkan ajakan kepadaumat untuk memasupati pikirannya agar tajam dan senantiasa sadar diri.
Jadi, apasupati di samping berarti memberi tuah kepada keris, tombak dan jenis-jenis peralatan lainnya agarberdaya guna dalam mensejahterakan kehidupan manusia juga berarti mengusahakan agar manusia dapat mengatasisifat binatang. Senantiasa meluhurkan diri dan meningkatkan kualitas diri,” paparnya panjang lebar.
Bagaimana caranya? Menjawab pertanyaan itu, Suka Yasa mengatakan banyak sekali sastra agama yang memberikantuntunan untuk kepentingan itu. Dalam Prasna Upanisad, misalnya, mengajarkan tiga cara yakni brahmacari, tapa danswadyaya. Brahmacari artinya memiliki tekad yang bulat untuk memahami Brahman yakni satyam (kebenaran),siwam (kebajikan, moralitas) dan sundharam (keindahan). Tapa artinya tahan uji dan berani berkorban. Sedangkanswadyaya berarti tekun belajar sendiri dan kreatif.
Masih banyak lontar sejenis yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara meningkatkan kualitas diri tersebut.Dalam konteks kekinian, tuntunan yang digariskan dalam sastra-sastra agama itu tetap sangat relevan untukdiimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Lantas, apakah kesuntukan umat mengupacarai berbagai jenis senjata, benda pusaka dan peralatan lainnya saatTumpek Landep merupakan hal yang keliru? Sebab realitanya, mayoritas umat Hindu di Bali cenderung memusatkanaktivitasnya kepada hal-hal yang bersifat sekala semata alias belum menjamah hal-hal yang lebih esensial. MenurutSuka Yasa, aktivitas mengupacarai sarwa landep (senjata-red) pada Tumpek Landep itu bukanlah suatu yang keliru.Alasannya, senjata itu merupakan alat untuk mensejahterakan dan mempermulia kehidupan umat manusia.
Panah pada zaman dahulu, misalnya, merupakan alat untuk berburu di mana hasil perburuan itu digunakan untukmemenuhi keperluan konsumsi anggota keluarganya. Di masa kini, “senjata” itu tidak lagi sebatas panah, tombak dansejenisnya, tetapi juga mencakup kendaraan bermotor dan perangkat elektronik yang terbukti memiliki peran yangsangat vital bagi manusia modern dalam mengumpulkan nafkah.
“Jadi, bukan sesuatu yang keliru jika kita mengupacarai dan mendoakan benda-benda itu saat Tumpek Landep dengansarana upakara tertentu. Mengapa benda itu didoakan? Tentu saja agar bisa membantu manusia dalammensejahterakan hidupnya,” kilahnya.
Kendati begitu, Suka Yasa tetap mengingatkan umat Hindu agar tidak lupa mengasah dan mempertajam “senjata” yang ada dalam dirinya. Yakni, bagaimana mengasah pikiran dan hati nurani untuk bisa mendapatkan pengetahuan,kebijaksanaan dan bisa menimbang mana yang baik dan benar yang selanjutnya memang dapat memuliakankehidupan manusia. “Selain mempertajam senjata yang digunakan sehari-hari untuk mencari nafkah, senjata yang adadalam diri juga harus terus-menerus diasah dan dipertajam,” tegasnya. * w. sumatika
http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/08/otak3.jpg
Tumpek Landep , Mengasah Hati Nurani
Hari raya umat Hindu seringkali berhenti dengan melakukan upacara ritual keagamaan yang berwujud memberikansesajen. Jarang sekali datangnya hari raya itu dipakai untuk mengupas simbol-simbol yang ingin disampaikan olehleluhur kita di masa lalu, untuk kita hayati inti sarinya. Padahal lewat simbol-simbol itulah akan terungkap ajaranyang penuh dengan makna kehidupan dan tetap relevan untuk menghadapi segala peralihan zaman.
Misalnya hari ini, disebut Tumpek Landep. Pengertian yang umum dikenal oleh kebanyakan orang adalahmengaturkan sesajen untuk semua alat yang terbuat dari besi. Pengertian ini terus-menerus diwariskan kepadagenerasi muda. Maka yang terjadi adalah memberikan sesajen di mobil, sepeda motor, televisi, kulkas. Mungkin sudahada pula yang memberikan sesajen di komputer, laptop, kompor gas, handphone, mesin faksimile, entah apa lagi.Padahal orang-orang Bali di masa lalu hanya memberikan sesajen itu pada jenis-jenis pisau, pahat, tombak, keris dansebagainya. Bukan karena terbuat dari logam besi, tetapi ada unsur tajam”. Tumpek Landep adalah ritual untukmengasah ketajaman”, bukan untuk otonan motor” sebagaimana yang lazim disebut sekarang ini.
Jika dirunut ke belakang, Tumpek Landep berkaitan dengan ritual sejak hari Saraswati. Pada hari itu kita memujaDewa Brahma agar ”shakti Beliau yakni Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan. Setelah memohon pada DewiSaraswati, esok harinya kita melakukan pembersihan rohani (ritual banyu pinaruh). Esoknya, soma ribek, dimulaiproses pembelajaran. Esoknya lagi, sabuhmas, menabung segala ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari. Ilmupengetahuan yang terkumpul itu kemudian dijadikan benteng kehidupan dan dirayakan sebagai Pagerwesi. Ilmuitulah yang terus kita asah dalam rentang waktu sepuluh hari sehingga pada Tumpek Landep kita rayakan denganpawintenan, yang intinya memohon kepada Hyang Pasupati agar kita tetap punya ketajaman pikiran.
Itu sebabnya, pada hari Tumpek Landep, di gria para sulinggih banyak dilakukan pawintenan, kalau dalam bahasamodern bisa disebut hari wisuda”. Nah, karena di masa lalu kehidupan masyarakat Bali murni agraris, sarana kerjapun ikut diasah dan diberikan sesajen seperti pisau, cangkul, pahat, tumbak, keris dan sebagainya.
Kini, ketika kehidupan berubah dari agraris ke industri, sarana yang perlu dipertajam bisa saja berganti. Komputerdan laptop, ya bisa diberikan sesajen, mobil dan motor, juga tak salah. Tetapi yang inti bukan itu, kitalah sebagaimanusia yang berpikir harus diberi upacara lebih dahulu. Janganlah mobil dicuci mengkilat lalu diberi sesajen,sementara pemilik mobil mandi pun tidak, apalagi melakukan persembahyangan. Kita sebagai manusia yangberpikir harus terus mengasah pikiran kita, karena itu inti dari Tumpek Landep.
Di era Kali Yuga (zaman edan) ini, pikiran yang mana perlu kita asah? Jika kita menyadari bahwa zaman ini penuhkegelapan, maka kita jangan ikut larut dalam kegelapan itu, kita perlu mengasah hati nurani kita agar peka terhadapberbagai persoalan yang diakibatkan oleh vibrasi Kali Yuga. Kita tak bisa mengasah hati nurani dengan membelenggudiri kita dalam lingkungan kecil, apalagi jika kita tak pernah keluar dari komunitas kita sendiri. Kita harus melebarkanpandangan dan melihat jauh ke luar dari lingkungan kita.
Kalau kita menjadi anggota DPRD, misalnya, janganlah kita hanya berkutat di gedung DPRD atau kantor bupati saja,bergaul dengan sesama anggota legislatif atau eksekutif melulu. Jika terbatas seperti itu, maka yang dipikirkanhanyalah bagaimana menambah gaji dari mempermainkan anggaran, bagaimana agar bisa mendapatkan KijangInnova. Coba tengok rakyat di pedesaan, bagaimana sulitnya mendapat pupuk murah, bagaimana mahalnyakebutuhan hidup sehari-hari. Kalau penderitaan rakyat itu kita hayati dengan hati nurani paling dalam, maka KijangInnova betul-betul merupakan barang yang harus ditolak.
Sebagai manusia yang diberikan kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih, gunakanlah ilmupengetahuan itu di jalan dharma. Yang pertama kita lakukan adalah mensyukuri hal itu, bahwa ternyata kitalah yangdiberi kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang lebih itu, orang lain tidak. Orang lain punya keterbatasan, entahekonominya tidak mampu, entah otaknya tidak memadai, misalnya, ada kelainan atau sakit. Ilmu itu harus kitakembalikan ke masyarakat dengan mengangkat harkat kehidupan masyarakat.
Mungkin kita membuat sesuatu untuk menambah lapangan kerja, berbuat sesuatu untuk meningkatkan pendidikanmasyarakat. Sambil melakukan itu kita mengasah kepekaan nurani kita, bahwa betapa banyaknya kehidupan yang dibawah standar masih ada di masyarakat, sementara kita di atas melakukan perbuatan hura-hura. Kita di atas ributdengan pembagian Kijang Innova, sementara di bawah ribut dengan beras murah yang penuh kutu.
Jika nurani kita peka, kita tak mungkin membiarkan petani kecil menjual tanahnya hanya untuk upacara ritual yangbesar. Hal itu akan menambah penderitaan sang petani dengan keturunannya. Dengan ilmu yang kita peroleh, kitasadarkan petani miskin itu bahwa ritual yang sederhana pun bisa diakukan. Lalu dengan ilmu itu pula kita mencariterobosan bagaimana mengangkat kehidupan sang petani. Zaman ini memang penuh godaan, namanya saja ZamanKali. Tetapi manusia-manusia yang punya kepekaan nurani, akan selamat dari godaan ini. Karena itu asahlah nuraniAnda, mumpung hari ini Tumpek Landep. * Putu Setia
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. STOREHOUSE of KNOWLEDGE - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger