Perayaan Buda Cemeng Kulawu = Artha yang menanyai
pemiliknya
Dalam
tradisi, perayaan Budha Wage Kelawu (Cemeng), sering diartikan sebagai perayaan
kepada Betara Rambut Sedana; perayaan kepada `Dia’ yang mememiliki kekayaan
yang sesungguhnya.
Karena
itu, pada hari Rabu, Wage, Kelawu, bagi yang meyakininya, akan menghindari
melakukan transaksi jual beli; sebab pada hari itu, “Dia” yang memiliki
kekayaan tengah melakukan yoganya. Maka tradisi `ekonomis’ yang menarik; sebab
dalam sekali waktu `uang’ tidak dipergunakan. Walau dalam sehari, alangkah
menariknya jika seseorang dibebaskan dari `ketakutan’ akan ketiadaan uang.
Bayangkan andai serentak terjadi dalam sehari, semua orang tidak melakukan
transaksi jual beli (?) Bagaimanakah sesungguhnya memaknai posisi uang dalam
kehidupan manusia saat seperti itu (?) Kekacauankah akan terjadi atau akan
hadir makna baru dalam menilai uang dalam kehidupan masa kini; yang memang
menilai keberhasilan seseorang dari kekayaan, jabatan; dari busana luarnya;
tidak peduli asal muasal kekayaan itu; didapatkan dengan jalan suci ataukah
menipu? Uang telah terbukti ` menipu’ kejujuran hati, `penguasa’ dan “tuhan”
yang sesungguhnya di masa kini.
Dalam
pengertian yang luas, perayaan Budha Wage Kelawu; mengingatkan kembali akan
keberadaan artha dalam konteks Catur Purusaartha; ( Artha, Kama, Dharma dan
Moksa). Tidak dalam pengertian sebatas kekayaan, namun artha yang berasal dari
bahasa sansekerta mengandung arti pula sebagai: “tujuan, sebab, motif, makna,
pengertian, dalam konteks ide kemakmuran materi’. Artha juga mencakup konsep
dalam arti mencapai ketenaran, dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi, yang
akan kait mengkaitkan proses pencapaiannya dengan tiga lainnya yang ada dalam
catur purusaartha, terutama kepada dharma (kebenaran).
Dalam
keseharian, Artha, adalah salah satu dari empat tujuan hidup ditempatkan,
sebagai tujuan mulia asalkan mengikuti perintah Veda; berdasarkan moralitas!
Asalkan berdasarkan dharma (kebenaran), bukan semata karena kama (kesenangan
fisik atau emosional). Nah, jika itu terpenuhi maka manusia akan menuju
Moksha (pembebasan). Dalam cara pandang yang lain, Artha ditempatkan juga
sebagai salah satu (kewajiban) seseorang dalam kehidupan tahap keduanya,
kewajiban mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin, namun dengan syarat ;
tanpa menjadi serakah, dengan tujuan untuk membantu dan mendukung keluarga
serta masyarakatnya.
Di
dalam Catur Purusartha telah diingatkan akan tujuan mutlak yang tertinggi bagi
umat Hindu; yakni Moksa, yaitu pembebasan Atma dari Triguna (Satwam, Rajas dan
Tamas), dapat pula tercapai melalui Reinkarnasi dengan hukum Karmanya (Karma
Pala). Untuk mencapai Moksa harus dilandasi dengan Dharma; Setiap tindakan
(karma) yang dilakukan harus berdasarkan Dharma; serta ajaran Dharma yang
terdapat dalam Weda harus ditegakkan.
Itulah
sebabnya, perayaan Budha Wage Kelawu sangatlah penting di masa sekarang ini;
sebab negara dan masyarakat Indonesia tengah menonton secara nyata; tindakan
korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh satu-dua orang saja, korupsi tidak cuma
dalam soal mencuri uang negara! Namun hampir disemua lapisan masyarakat telah
terjadi pengkorupsian tata krama-tata nilai; nilai-nilai kemanusiaan
dilenyapkan dengan cara mengakali aturan, mencari pembenaran bagi kesalahan,
yang membelokan penilaian masyarakat kepada tujuan hidupnya makin jauh dari
kebenaran (dharma). Kini, mereka yang fashion religius; berpura-pura suci dan
taat menjalankan ajaran mulia, dikagumi dan dicontohi, walau jelas, belumlah
tentu mereka yang berpura-pura suci itu menjalankan ajaran mulia, hanya
`busananya’ yang religius. Dibalik perilaku fashion religius itu yang ada
adalah semangat memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadi: untuk
keuntungan baik materi, status sosial dan ketenaran. Kemudian `Fashion humanis’,
perilaku seolah-olah menjalankan penghormatan kepada keragaman, perilaku sayang
lingkungan; tidak membeda-bedakan siapapun; namun dibalik semua itu, membiarkan
terjadinya berbagai peristiwa menindas yang lemah; sibuk membangun wacana,
bersilat lidah, namun membiarkan kekerasan terjadi dimana-mana baik phisik
maupun psikis; baik melalui kekuasaan maupun kecendekiaan. Maka dalam bahasa
putus asa; maka zaman ini pun berkata: itu semua ujungnya duit! Uanglah
sebabnya!
Harta!
Yang memiliki harta seolah tidak akan terkena hukum karma (?) Masyarakat
melihat, bagaimana orang yang dipenjara dapat hidup mewah karena hartanya!
Pelaku korupsi dapat menjadi calon pejabat publik, mantan pengguna narkoba pun
dapat menjadi anggota parlemen, dst!: semuanya `disahkan’ oleh harta, oleh
uang! Disucikan dan dibenarkan oleh uang! Karena itu, Artha, pada Budha Wage
Kelawu ini; bagi siapa saja; dari gubernur sampai kepala desa, dari pemilik
hotel sampai pemilik warung; tengah ditanyai oleh Artha itu sendiri. Benarkan
kekayaanmu itu, sedikit ataukah banyak, apakah semua itu didapat berdasarkan
dharma?
Jika
pun engkau ragu tentang kesucian asal hartamu, lalu berusaha gagah mendandani
upacaramu dengan sajen aneka rupa, dengan mengundang pendeta sakti mandraguna:
hukum karma tetap menghitung dengan cermat; jika seketika hukumanya tiba,
beruntunglah, karena akan segera engkau pahami apa hukumannya bagi yang
memiliki artha dengan cara yang salah, jika nanti, kelak setelah engkau tiada
atau pada kelahiranmu nanti hukuman itu baru tiba, melalui reinkarnasi barulah
hukuman dirasakan oleh anak-cucumu; tersenyumlah saat ini, sebab engkau tertipu
oleh kenikmatanmu hari ini, tak akan terbayangkan hukum karma itu bagi
kelahiranmu nanti!
Karena
itu, tak ada yang terlambat untuk kembali meyogakan diri pada hari Budha Wage
Kelawu; segera mengoreksi kekayaan, sedikit ataukah banyak: benarkah didapatkan
dengan jalan kebaikan? Berdasarkan dharmakah? Jika tidak: apa boleh buat, hukum
dunia boleh ditipu, citra maya dapat mempesona, namun hukum karma berjalan
tetap dengan pasti; Atmamu pun terikat pada rajas dan tamas, beribu upacara pun
tak akan pernah membuat hidupmu damai, begitu yang dajarkan mengenai Artha,
mengenai perayaan Budha Wage Kelawu, perayaan yang mengingatkan kembali tentang
tujuan mulia.
Secara
tradisi, hari Rabu Wage Kelawu ( 10 Pebruari 2010) ini diyakini: Sang Batara
Rambut Sedana tengah beryoga, maka usahakan, jangan melakukan transaksi
jual-beli! Tujuannya,: coba diingat-ingat; apa yang engkau pamerkan, apa yang
engkau sumbangkan? Apa yang engkau makan, apa yang engkau gunakan, dst. Apakah
semua itu didapat dengan jalan dharma? Atau kamu cuma percaya semua itu
didapatkan dari jerih payahmu sebagai harta kerkayaanmu! Semata-mata didapatkan
dibeli dari uangmu? Tarik nafaslah, heningkan diri. Semoga disaat itu, tujuan
mulia menegur hati, bahwa semua kekayaan itu, tiada lain atas karuniaNya! Dan
yang tak ternilai adalah jalan kebenaran (dharma) sebagai hartamu!
Selamat
merayakan Buda Cemeng Kulawu.
Oleh:
Cok Sawitri
PERAYAAN
Siwaratri identik dengan melaksanakan
1. monobrata (tidak berbicara)
2. upawasa (puasa)
3. jagra (begadang)
Tak
hanya itu, kisah Lubdaka pun sering dijadikan flash back perayaan Siwaratri.
Bagi kebanyakan orang, Siwaratri sering dianggap malam penebusan dosa. Padahal
sebenarnya tidak begitu. Istilah yang mungkin lebih tepat adalah malam
perenungan dan mohon ampunan.
Perbuatan
kita dalam perjalanan hidup banyak yang keliru, maka saat Siwaratri-lah kita
renungkan semua apa yang telah kita lakukan sekaligus introspeksi dan
pembenahan. Siwaratri juga harus dilihat sebagai latihan peningkatan moral
sehingga kita akan selalu ingat dengan Tuhan dan rajin berdoa.
Secara
umum Siwaratri bermakna memberi keseimbangan jiwa pada diri
seseorang. Dengan selalu melatih bidang kerohanian kita, niscaya apa yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akan seimbang. ”Seimbang dalam artian
tidak hanya wacana, tetapi juga realisasinya,”.
TANGGAL
3 Januari 2011, Wraspati Paing Prangbakat, umat Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali khususnyamerayakan hari raya keagamaan yang disebut hari Siwaratri atau sering juga disebut Siwalatri. Hari raya Siwaratri iniuntuk mengingatkan umat Hindu
agar selalu meningkatkan kesadaran rohaninya dalam menghadapi dinamikakehidupan yang penuh dengan gejolak. Upawasa, jagra dan mona adalah suatu metode yang diajarkan oleh ajaranSiwaratri untuk membangun kesadaran diri. Orang yang memiliki kesadaran diri itulah yang akan dapat mengurangibahkan menghindar dari perbuatan dosa, meskipun tahap demi tahap.
Upawasa untuk melatih nafsu untuk tidak rakus.
Jagra maksudnya agar setiap langkah dalam berperilaku didasarkan pada kesadaran budhi. Kesadaran budhi itulahyang akan berperan memberikan berbagai pertimbangan sebelum melangkah dalam berperilaku.
Mona bertujuan untuk melatih lidah tidak berbicara sembarangan.
Sarasamuscaya mengajarkan hendaknya diusahakan agar dari lidah itu tidak keluar empat jenis kata-kata. Empat jenisucapan yang tidak boleh keluar dari lidah adalah:
1. ujar ahala
2. ujar pisuna
3. ujar mitya
4. ujar apergas
Artinya ucapan yang harus dihindari adalah ucapan yang mengandung maksud jahat, fitnah, bohong dan kasar. Halitulah yang dilatih dengan mona.
Hari raya Siwaratri bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa melakukan upawasa, jagra, dan monasebagai kegiatan untuk membangun kesadaran diri.
Manusia sering digelapkan hatinya oleh hawa nafsunya yang bergelora. Kemajuan duniawi tanpa diimbangi olehkemajuan rohani sering membawa manusia lupa akan hakikat jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang palingutama penghuni bumi ini. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kekuatan fisik atau juga kesaktian, kebangsawanan yangdiperoleh sering menjadikan manusia kehilangan kesadaran dirinya yang sejati. Namun, manusia akan disebutmanusia utama kalau kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kebangsawanan, kesaktian dan kekuatannya itu dilandasioleh rohani yang tinggi. Manusia memiliki kelebihan kalau dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Manusia mampu mengubah berbagai kekurangan maupun kesalahannya kalau ia mau mendayagunakan agama danilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena itu, manusia jahat sekalipun, kalau ia mampu membangkitkan kesadarandirinya akan dapat mengubah sifat jahatnya menjadi manusia baik dan suci.
Siwaratri artinya malam Siwa. Umat Hindu diingatkan untuk mengembangkan kesadaran dirinya. Hakikat ajaranSiwaratri adalah untuk mengingatkan manusia agar selalu percaya pada Tuhan (Siwa). Manusia akan selalu dapatmenghalau kegelapan hatinya dengan cara selalu percaya dan takwa pada Tuhan (Siwa).
Perayaan Siwaratri ini untuk mengingatkan umat untuk lebih menekankan pada cara beragama ke dalam diri.Beragama Hindu penekanannya ada dua arah yaitu:
1. Prawrti Marga, beragama keluar diri seperti mengutamakan pelayanan dan pengabdian pada alam dan sesamamanusia sebagai wujud bakti pada Tuhan.
2. Niwrti Marga adalah beragama yang lebih menekankan pada cara penghayatan diri demi perbaikan ke dalam dirisendiri.
Kedua jalan ini sama-sama penting untuk diseimbangkan pelaksanaannya. Tidak mungkin kita melakukan pelayananpada alam dan sesama kalau dalam diri kita masih rapuh. Diri yang kuat lahir batin akan termotivasi untuk mengabdipada sesama dan alam. Karena dalam keadaan alam yang lestari dan kehidupan bersama yang
solid kita bisa hidupdengan aman, damai dan sejahtera.
Semoga hari raya Siwaratri ini menjadi tonggak untuk meningkatkan kesadaran diri kita sebagai umat beragama terussemakin cerah dan terarah menuju kehidupan yang penuh anugerah.
Tatacara Pelaksanaan Upacara Siwaratri
1.
Pengertian.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarรขtri juga disebut hari suci pajagran.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarรขtri juga disebut hari suci pajagran.
2. Waktu Pelaksanaan.
Siwarรขtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).
Siwarรขtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).
3. Brata Siwarรขtri.
Brata Siwarรขtri terdiri dari:
Brata Siwarรขtri terdiri dari:
1.
Utama, melaksanakan:
1.
Monabrata (berdiam diri dan tidak
berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1.
Upawasa.
2. Jagra.
3. Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.
Jagra.
4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarรขtri.
1.
Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan
dharmaning kawikon.
2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan
sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu.
Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
1.
Maprayascita sebagai pembersihan pikiran
dan batin.
2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai
persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata
mohon bantuan dan tuntunannya.
4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa.
Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula
pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula
diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta
diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarรขtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarรขtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati
upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di
atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14
sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
Brata Siwa Ratri Pada Tilem Kepitu dan Cerita Lubdaka
Dari kalangan para
peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang
sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat
dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat
(kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang
nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.
Hal
ini dilukiskan oleh Lubdaka yang memetik daun-daun Bila, dan mengenai Lingga
Sang Hyang Siwa di telaga. Diistilahkan dengan seseorang yang sedang berjapam.
Arwah Lubdaka menjadi rebutan, namun kemudian Siwa sendiri yang
menyelamatkannya. Ini adalah suatu kiasan, bahwa betapapun besar dosa
seseorang, jika sudah mohon ampun kehadapan –Nya serta insaf maka kesalahan itu
akan diampuni oleh-Nya.
Hari
suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu mempunyai
keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata Siwaratri
yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan antara seorang
Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya
sebagai berikut :
“Dengarkanlah
Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat
utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh
gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri),
yang menghapuskan segala papa.
Anugerah
itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga
dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling
utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara
segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara
mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang
cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.
Banyak
kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan
dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun
orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari
perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang
menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam
peleburan dosa.
Umumnya
Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :
1. Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering
diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal
seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang
bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut,
menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan
sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan
atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
2. Upawasa yaitu
pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan
untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian
dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau
puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk
seterusnya.
3. Jagra yaitu
pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi
disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada
malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan
begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma
Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil
bermaaf-maafan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa,
melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia
memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Itulah
sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu
yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk
mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.
Terutama
sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah,
1. Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik),
2. Dhana (mabuk karena kekayaan),
3. Guna (mabuk karena kepandaian),
4. Kasuran (mabuk karena kemegahan),
5. kulina (mabuk karena keturunan bangsawan),
6. Yowana (mabuk karena keremajaan),
7. Sura (mabuk karena minuman keras).
Ternyata
bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan
juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga
keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah
dia kedalam kegelapan.
Makna
hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam
pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran
maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu
pengetahuan rohani.
Yang
paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah
yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri.
Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang
mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang
Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci
malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah
keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang
dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya
dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau
sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan
untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat
dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.
Ada
lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah
karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona
brata dan jagra pada
hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon
pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus.
Kelihatannya
kok gampang dan mudah sekali ya ? Belum tentu ! Melaksanakan salah satu dari
brata itupun sangat sulit, apalagi ketiganya sekaligus. Meskipun cuma satu hari
satu malam, wah sulitnya minta ampun.
Dan
beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua
jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur
melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah,
di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru
disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan
lebih khusuk.
Apa
tujuannya Monabrata, upawasa dan mejagra. Pada dasarnya, laku-laku tapa brata
adalah untuk pengendalian diri (mengekang hawa nafsu). Atau dengan kata lain
membiasakan berkata dan bertingkah laku yang baik.
Monobrata maksudnya
adalah mengubah kebiasaan dari suka berkata-kata kasar, memaki, memfitnah,
membicarakan keburukan orang, menjadi senang berkata-kata yang lemah lembut,
membicarakan kebaikan orang lain, senang mengagungkan nama Tuhan.
Monobrata pada
hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati
secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om
Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada
kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa
apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.
Tapa monobrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama
sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang
kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.
Maka
orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan
perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar
hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasar.
Tambahan
pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan
perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal
perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka
mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya
pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan
sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh
didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu,
maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Kemudian
laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang
jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku
ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta
mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan
mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan
japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
Mejagra yaitu
begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda
Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus
menerus, sambung menyambung.
Begitupun
halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di
dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang
senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk)
tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Oleh
Adang Suprapto
Dapatkah Dosa Ditebus Dengan
Siwaratri?
Pertanyan ini menggelitik di kalangan warga Hindu bila mereka
membandingkan dengan inti kepercayaan agama-agama lain. Manusia religius ketika
sadar telah melakukan hal-hal yang dilarang agamanya (berdosa) ingin bertobat
dan mencari upaya menenangkan batin dengan berbuat sesuatu yang dianggapnya
dapat menebus dosa dalam pengertian “menghapus dosa”. Adakah Hindu membuka peluang bagi
mereka?
Karmaphala adalah hasil subha karma atau perbuatan
baik dan asubha karma yaitu perbuatan tidak baik, dipandang sebagai srada yang
ampuh mengendalikan perbuatan manusia. Karmaphala ada tiga jenis jika dilihat
dari saat berbuat dan saat menerima hasil perbuatan.
1.
Sancita karmaphala
adalah hasil perbuatan di masa lampau (sebelum reinkarnasi) yang belum habis
dijalani di masa itu sehingga menentukan kehidupan sekarang.
2. Prarabda karmaphala
adalah hasil perbuatan di masa hidup sekarang yang habis dijalani sebelum
manusia meninggal dunia.
3. Kriyamana karmaphala
adalah hasil perbuatan di masa lalu dan di masa kini yang belum habis dijalani
sehingga menentukan kehidupan di masa datang (reinkarnasi yang akan datang).
Paham karmaphala ini menegaskan bahwa dosa tidak dapat
ditebus atau dihapus. Oleh karena itu Hindu mengajarkan agar
manusia waspada dan mencegah perbuatan-perbuatan dosa. Rambu-rambu untuk
menghindarkan manusia berbuat dosa sangat banyak, sangat luas, dan dapat
dilakukan oleh siapa saja. Sumber sastra yang dapat dikumpulkan antara lain:
1.
Catur Asrama. Kehidupan manusia dibagi
dalam empat tahap yaitu: Brahmacari (masa belajar), Grahasta (masa berumah
tangga), Wanaprasta (masa mensucikan diri), dan Saniyasin (masa menjadi
rohaniawan).
2. Pancasrada. Lima keyakinan Hindu:
Widhi tattwa (percaya pada Ida Sanghyang Widhi Wasa), Atma tattwa (percaya pada
adanya roh leluhur), Karmaphala (percaya pada hukum tentang sebab akibat
perbuatan), Samsara (percaya pada reinkarnasi/ kelahiran berulang-ulang), Moksa
(bebas dari ikatan keduniawian).
3. Trikayaparisudha. Tiga kelompok besar yang patut
dijaga yaitu: Kayika (perbuatan yang benar: tidak membunuh, tidak mencuri,
tidak berzina), Wacika (perkataan yang benar: tidak mencaci, tidak berkata
keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji), Manacika (pikiran yang benar:
tidak menginginkan sesuatu yang adharma, tidak berpikir buruk pada orang/
mahluk lain, percaya adanya karmaphala)
4. Caturpurusartha. Empat tujuan hidup: Dharma (kebaikan
di jalan Ida sanghyang Widhi Wasa), Artha (pemenuhan kebutuhan benda-benda
duniawi), Kama (kenikmatan hidup), dan Moksa (kebebasan abadi).
5. Caturmarga. Empat jalan manusia bersujud ke Ida Sanghyang Widhi
Wasa: Bhaktimarga (pasrah), Karmamarga (kerja), Jnanamarga (belajar agar
mengetahui kebesaran-Nya), Rajamarga (menggelar tapa-brata-yoga-samadi).
6. Yamabrata: Usaha-usaha mengendalikan diri yaitu anrsamsa (tidak
egois), ksama (memaafkan), satya (jujur), ahimsa (tidak menyakiti), dama
(sabar), arjawa (tulus), pritih (welas asih), prasada ( berpikiran suci),
madhurya (bermuka manis), mardawa (lemah lembut).
7. Niyamabrata: Janji pada diri sendiri untuk berlaku dharma yaitu
dana (dermawan), ijya (bersembahyang), tapa (mengekang nafsu jasmani), dhyana
(sadar pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa), swadhyaya (belajar), upasthanigraha
(mengendalikan nafsu sex), brata (mengekang indria), upawasa (mengendalikan
makan/ minum), mona (mengendalikan kata-kata), snana (menjaga kesucian lahir
bathin)
8. Sadripu: mengendalikan enam musuh yang ada di diri
sendiri: kama (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), moha
(angkuh), matsarya (dengki irihati).
9. Sadatatayi: menghindari enam kekejaman: agnida (membakar),
wisuda (meracun), atharwa (menenung), sastragna (merampok), dratikrama
(memperkosa), rajapisuna (memfitnah).
10.
Saptatimira: menghindari
kemabukan-kemabukan karena surupa (cantik/ tampan), dana (kaya), guna (pandai),
kulina (wangsa), yowana (remaja), kasuran (kemenangan), sura (minuman keras).
Bila manusia terlanjur berbuat dosa, petunjuk-petunjuk
yang ada pada beberapa kitab-kitab/ lontar di bawah ini dapat digunakan sebagai
pegangan:
Kitab Parasara Dharmasastra yang dianggap cocok untuk
zaman kaliyuga sekarang ini, memuat beberapa ketentuan bila seseorang terlanjur
berbuat dosa yang disebabkan antara lain karena:
1.
Kelahiran dan kematian yang tidak wajar
2. Berzina
3. Digigit binatang tertentu
4. Membunuh
5. Mencederai sapi
6. Makan makanan terlarang
Ketentuan yang diatur dalam kitab itu hanyalah proses
pensucian diri, bukan penebusan dosa.
Lontar Wrhaspati Tattwa menyatakan tiga kegiatan pokok
yang perlu dilakukan bila seseorang ingin mencapai kelepasan:
1.
Jnanabhyudreka: mengetahui semua tattwa
Agama.
2. Indriyayogamarga: tidak tenggelam dalam kesukaan hawa
nafsu.
3. Trsnadosaksaya: menghilangkan pahala dari perbuatan
baik dan buruk.
Kitab Upanisad Utama, Brahmana ke-15 bagi manusia yang
akan meninggal dunia, ucapkan mantram-mantram ini di telinganya:
hiranmayena patrena satyasyapihitam
mukham,
tat tvam, pusan, aparnu, satya dharmaya drstaye,
tat tvam, pusan, aparnu, satya dharmaya drstaye,
Artinya: wajah
kebenaran ditutup oleh piring emas; bukalah ini o Pusan sehingga aku yang
mencintai kebenaran bisa melihat.
pusann, ekarse, yama, surya,
praja-patya,
vyuha rasmin samuha tejah,
yat te rupam kalyanatamam,
tat te pasyami yo sav asau purusas, so ham asmi,
vyuha rasmin samuha tejah,
yat te rupam kalyanatamam,
tat te pasyami yo sav asau purusas, so ham asmi,
Artinya: Pusan yang
tunggal melihat, pengendali, o matahari putra dari prajapati sebarkanlah
sinarmu dan kumpulkanlah sinarmu yang gemerlapan sehingga aku melihat di-Kau
dalam bentukmu yang paling indah.
vayur anilam amrtam athedam bhasmantam
sariram,
aum krto smara, krtam smara, krato smara, krtam smara,
aum krto smara, krtam smara, krato smara, krtam smara,
Artinya: semoga hidup ini memasuki nafas yang abadi
kemudian semoga tubuh ini berakhir menjadi abu, o buddhi ingatlah, ingatlah apa
yang telah diperbuat.
agne naya supatha, raye asman, visvani,
deva, vayunani vidvan, yuyodhy asmaj juharanam eno, bhuyistham te namauktim
vidhema.
Artinya: agni tuntunlah kami pada jalan yang baik
kearah kekekalan, o Tuhan yang mengerti semua perbuatan-perbuatanku, ambilah
semua dosa dariku, kami akan menghadap-Mu.
Lontar Siwaratrikalpa karangan Mpu Tanakung yang
diilhami oleh Purana-purana sanskerta: Padma, Siwa, Skanda, dan Garuda,
menokohkan Lubdhaka sebagai orang yang sadar pada dosa-dosanya di masa lalu
kemudian di hari Siwaratri (panglong ping 14 tileming kapitu) tanpa sengaja ia
membangun tapa-brata-yoga-samadi, dianggap sebagai langkah kesadaran dharma
karena membangun tapa-brata-yoga-samadi bersamaan dengan waktu Bethara Siwa
beryoga samadi untuk kesejahteraan jagat raya beserta isinya.
Setelah Siwaratri, Lubdhaka tidak pernah lagi
melakukan perbuatan-perbuatan adharma. Ketika Lubdhaka meninggal dunia,
kesadaran dharmanya dinilai positif oleh Bethara Yama sehingga Lubdhaka masuk
sorga. Manusia Hindudiharap
meniru apa yang dilakukan Lubdhaka.
KESIMPULAN
Dosa tidak dapat ditebus atau dihapus, namun dosa atau
perbuatan adharma dapat diimbangi dengan perbuatan dharma sehingga diharapkan
terjadi keseimbangan yang relatif lebih mengunggulkan dharma.
Diibaratkan dosa itu bagai sinar matahari yang terik,
bila berhembus angin rasa panasnya akan berkurang. Angin itu ibarat
perbuatan-perbuatan dharma.
Sarasamuscaya sloka ke-16:
yathadityah samudyan wai tamah, sarwwam
wyapohati, ewam kalyanamatistam sarwwa, papam wyapohati.
Laksana sifat surya, begitu terbit melenyapkan
gelapnya dunia, demikianlah orang yang mengusahakan dharma akan menghilangkan
segala macam penderitaan.
JAUHKAN PERBUATAN-PERBUATAN ADHARMA DAN BERBUATLAH
DHARMA SEBANYAK-BANYAKNYA!
oleh: Bhagawan Dwija
HARI
ini, sehari sebelum hari raya Galungan umat Hindu di Bali umumnya menyiapkan
perayaan Galungan dengan memotong hewan seperti ayam dan babi untuk pesta
perayaan Galungan. Pengertian itu sesungguhnya suatu pemahaman yang sangat
awam, namun hal itulah yang jauh lebih mentradisi daripada arti sesungguhnya
Penampahan Galungan itu.
Penampahan
Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan
atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Makna dari prosesi
ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnyana
atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan
mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buru. Mana yang patut dan mana
yang tidak patut.
Dengan
demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat
membawa kita pada kehidupan yang adharma. Jadi penyembelihan ayam dan babi itu
sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka
bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti
babi. Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif.
Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan
hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan
sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah
yang mungkin masih melekat dalam diri kita. Dengan demikian saat Galungan
berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.
Salah
satu sumber penderitaan umat manusia di dunia ini adalah karena sering dibelit
oleh sifat malas namun serakah. Ingin hidup enak dan senang tetapi malas
berusaha. Inilah musuh manusia yang sering menyelinap dalam dirinya. Dalam
merayakan hari raya Galungan sebagai hari untuk mengingatkan umat manusia agar
senantiasa menyadari dirinya sering kalah melawan kemalasan dan keserakahan.
Sebagai akibatnya manusia pun menderita karena sering kalah melawan sifat malas
dan serakah itu. Karena itu, dalam perayaan Galungan secara terus-menerus
diingatkan agar selalu waspada pada dua sifat yang dapat menjerumuskan manusia
pada kehidupan yang menderita.
Kemalasan
dan keserakahan berasal dari Guna Tamas dan Guna Rajah. Sesungguhnya Guna Tamas
dan Rajah itu akan menjadi positif apabila dapat dikendalikan oleh Guna
Sattwam. Guna Tamas dan Guna Rajas itu akan menunjukkan aspek positifnya kalau
ia berada di bawah kendali Guna Sattwam.
Karena
itulah salah satu yang diingatkan dalam perayaan Galungan adalah melakukan
Ngerebu saat upacara Sugian. Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang
Guna Sattwam. Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna
Sattwam-nya. Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnyana
nirmalakna. Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri. Dari
semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Selanjutnya
marilah buktikan dalam perayaan Galungan ini kita menang. Bagaimana
membuktikannya, cobalah mulai kita menangkan produk lokal untuk digunakan
sebagai sarana upacara dalam merayakan Galungan. Meskipun kualitas dan
kuantitasnya masih kalah dengan produk import. Penggunaan produk lokal itu akan
mendorong kita untuk mengupayakan agar produk lokal hasil karya sendiri itu
lebih diupayakan peningkatan mutu dan kuantitasnya. Gunakanlah sarana hasil
daerah kita untuk merayakan Galungan seperti buah-buahan, bunga-bungaan,
demikian juga sarana-sarana lainnya.
Buktikanlah
selama perayaan Galungan makin kecil jumlah umat yang mabuk karena merayakan
Galungan. Tidak ada yang kebut-kebutan di jalan raya saat Galungan. Bahkan kita
mampu menunjukkan selama perayaan Galungan pelanggaran lalu lintas menurun
drastis. Merayakan Galungan dengan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu,
jelas suatu kekalahan.
Kalau
masih merayakan hari raya keagamaan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu
jelas angka-angka negatif akan lebih menonjol dari angka-angka positif.
Misalnya setiap perayaan Galungan justru statistik pelanggaran lalu lintas
meningkat. Jumlah orang berkelahi karena mabuk justru meningkat saat-saat
merayakan Galungan. Jumlah pengotoran lingkungan semakin banyak. Usai hari raya
Galungan justru lingkungan lebih kotor dari sebelumnya. Demikian juga orang
masuk rumah sakit lebih meningkat saat Galungan karena pesta-pesta yang salah
kaprah.
Merayakan
Galungan untuk memenangkan Dharma justru harus diupayakan dengan sadar untuk
membalik angka-angka negatif menjadi angka-angka positif. Demikian juga
perayaan Galungan dijadikan momentum melakukan gerakan untuk mengatasi problem
sosial. Misalnya gerakan untuk tidak menjadikan tempat suci sebagai arena judi,
minum-minuman keras dan pesta-pesta pora yang berlebihan.
TRADISI
beragama Hindu di Bali wujudnya sangat lokal Bali. Tetapi, di dalamnya
terkandung nilai-nilai moral yang universal. Galungan, misalnya, yang segera
akan dirayakan umat Hindu, dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja.
Nilai yang dikandungnya tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu saja.
Nilai yang universal diwujudkan dengan budaya lokal, agar nilai global
universal itu lebih mudah diaktualkan dalam kehidupan sosial yang kontekstual
dengan perkembangan ruang dan waktu. Nilai-nilai moral yang universal dalam
perayaan Galungan tersurat dan tersirat dalam teks kitab sastra. Teks
penjelasan Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama. Dalam teksnya ada yang
tersurat pesan moral yang universal dan ada juga yang tersurat untuk aplikasi
lokal. Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada
dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan
kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Dalam
Lontar Sunarigama dinyatakan, Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis
ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena biaparaning idep. Artinya,
Galungan adalah memusatkan (patitis) pengetahuan suci (jnyana) untuk
mendapatkan kekuatan yang terang (galang apadang) untuk menghilangkan kegelapan
hati (mariakena biaparaning idep). Pesan moral yang universal itulah hendaknya
terus-menerus kita renungkan sebagai intisari perayaan Galungan. Hal ini untuk
menghindari perayaan Galungan berhenti pada kegiatan yang lebih menekankan pada
hura-hura tanpa makna. Kemeriahan dan keindahan dalam merayakan Galungan memang
sepatutnya kita wujudkan. Namun, kemeriahan dan keindahan itu hendaknya sebagai
pengejawantahan dari pesan moral universal dari Galungan. Karena itu, sebelum
puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian,
penyajaan dan penampahan. Semua istilah tersebut kedengarannya sangat lokal
Bali. Tetapi, kalau kita runut teksnya ternyata mengandung nilai yang
benar-benar universal.
Sugian
ada tiga kali. Budha Pon wuku Sungsang Sugian Tenten. Sugian itu penyucian
awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan
kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang
sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut dan seterusnya.
Kalau
kesadaran itu dasarnya kita tidak terjebak untuk mengikuti tradisi yang sesat,
justru yang harus diperkuat, tradisi yang berdasarkan kebenaran (Dharma)
Wrehaspati Wage wuku Sungsang Sugian Jawa. Jawa dalam hal ini artinya jaba, di
luar diri kita. Dalam lontar Sunarigama dinyatakan: Sugian Jawa mratistha
bhuwana agung. Artinya, Sugian Jawa itu menyucikan bhuwana agung. Bhuana agung
menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra
Kliwon Sungsang. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Sugian Bali mratistha raga
tahulan. Artinya, Sugian Bali adalah sebagai media untuk menyucikan diri
pribadi.
Embang
Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan. Dalam lontar dinyatakan: embang Sugian
anyekung jnyana nirmalakna. Artinya, mengheningkan kesadaran diri sampai suci
(nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan: matirtha Gocara. Artinya,
memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku
Dungulan disebut penampahan. Upacaranya natab banten sesayut pamiakala
laramelaradan yang disebut Sesayut Penampahan. Natab banten ini sebagai lambang
peningkatan rohani dalam tahap Wiweka Jnyana. Artinya, kondisi rohani yang
sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Nampah dalam
hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam
diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan
tersebut barulah mencapai puncak Galungan.
Kata
Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang
atau unggul. Mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan
sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Untuk itu haruslah menempuh
tahapan-tahapan hidup seperti yang dilukiskan dalam merayakan Galungan. Dari kesadaran
diri, membenahi kesejahteraan alam (Bhuta Hita), membina kesucian diri,
mengkonsentrasikan kesucian diri dan memohon restu pada Tuhan. Terpadunya
kekuatan perjuangan manusia dengan anugerah Tuhan itulah yang akan membawa
kemenangan dalam hidup ini.
Nilai-nilai
itulah yang harus dijadikan membangun kondisi hidup yang harus diperjuangkan
pada setiap Galungan. Lebih-lebih di zaman global ini godaan dan tantangan
hidup semakin besar dan multi dimensi. Karena itu Galungan adalah salah satu
tonggak peringatan setiap enam bulan agar manusia jangan sampai lupa akan
nilai-nilai moral universal yang dikandung oleh tahapan-tahapan perayaan
Galungan. Nilai-nilai perayaan Galungan yang tersurat dalam sastra itulah yang
lebih utama kita renungkan dalam setiap merayakan Galungan.
Hari
raya artinya, hari yang kita rayakan atau besarkan serta utamakan nilai-nilai
hakikinya untuk direnungkan lebih dalam. Dari perenungan itu kita wujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjalani tahapan hidup.
Sejarah
Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka,
di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur,
Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit
pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti
bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata
Galungan yang berarti berperang.
Parisadha
Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan
Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha
Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali
menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya
dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas
karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya
di dunia ini.
Ngaturang
maha suksmaning idรฉp, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan
Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Yang
terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap
batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya
ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun
sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam
rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite
Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah
Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan
dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam
hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala
keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan
adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya,
mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang
akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja
kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna
anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati
agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati
tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan
pada hari Penampahan itu.
Menurut
Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi
menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan
dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing.
Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu,
umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa
terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira
pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan
berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor
terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat
ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor
itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya
Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti.
Pada
penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan
dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini
mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa
pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi.
Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita
semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan
rasa Parama suksma.
Kita
bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa
material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa
kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah
dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang
berdasarkan jiwa keagamaan.
Mewujudkan
kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan
agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan,
olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/
kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau
bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan
patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan
bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan,
di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh
para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan
yoga semadhi.
Persembahan
dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan
dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung,
di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya
di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera)
Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan
sebagainya.
Widhi-widhananya
untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka,
sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk
di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan
serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging
itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan
upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan
sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan,
sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya
mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah
hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci
hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan
manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya
atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun
lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada
hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen
sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat)
menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang
semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.
Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan
sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada
kita semua. Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari
Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.
Kesimpulan:
Dalam
menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang
Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa. Terangkan
hati, agar menjadi รura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam
menghadapi hidup di dunia. Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan
biaya. Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang
Widhi dengan ketulusan hati.
Om,
sampurna ya nama swaha.
Om, sukham bhawantu.
Om, sukham bhawantu.
Kata
“Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang
atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara
ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak
sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya
Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah
lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas
Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama
dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di
Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama
Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di
luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan
pasti.
Namun
di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon
Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang
aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak
itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah
Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa
dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.
Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan
juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi.
Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur
para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika
Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam
lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja
dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang
terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa
Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik
atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik
itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek
karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja
Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan
sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula
supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari
sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan
Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk
melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan
dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi
atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain
itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan
(asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa
hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan
adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara
ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan
dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian
upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar
Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha
Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang
maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu
Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan
pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi,
inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan
pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud
dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep)
adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan
kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan
adharma.
Untuk
memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan
setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna
menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan
pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan
Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu
hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan
upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang
disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan
jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri
sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam
diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada
Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu
manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jรฑana, artinya:
mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu
juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan
dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada
hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang
paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan,
“Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku
Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari
untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten
byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini
menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada
hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian
urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari
Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang
betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan
dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga
mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari
berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru.
Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah
berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat
dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut
barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada
hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar
Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan
melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning
jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut
Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada
hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan
upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan
Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah
makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
Macam-macam Galungan
Meskipun
Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan,
ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan
lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya
tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan
Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Adalah
hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan
dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan
“Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap
Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena
yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku.
Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat
bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi
Galungan
yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali
Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan
dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan
Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan
kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa
kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka
akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari
kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan
dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada
keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu
yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang
artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama
disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang
lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa
Galungan
Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
“Yan
Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek
9, Galungan Nara Mangsa ngaran.”
Artinya:
Bila
Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila
bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam
lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai
berikut:
Nihan
Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan
tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan
wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa
mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal
kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline
pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring
Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah
petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi
manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan
wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan
Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen
yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9
sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya.
Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan
dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam
(maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah
dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan
Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara
Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi)
Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan
raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa
tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat
dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian
pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya
diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam
lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh
Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya
Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari
raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan
dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar,
parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi
dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata
“Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam
bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari
Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan
Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.
Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan
upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri
itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh
pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai
spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah
dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa
kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.
Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan
adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu
raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi
Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik
menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih
sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di
Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram,
sangat menakutkan.
Perayaan
Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan.
Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.
Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan
adharma.
Sedangkan
upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri.
Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu.
Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan
pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai,
keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan
Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi
ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya
umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh
besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah
disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan
tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak
dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas
panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa
sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung
terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang
memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat
penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan
itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka
mengalahkan adharma.
Kalau
kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu
pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan
yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu
“sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan
pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama
adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah
mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan
itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan
dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir
batin.
Kemenangan
lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup
sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat
maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar
orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan
melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
(Sumber:
Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
——————————————————————————–
——————————————————————————–
©Raditya2002
Lebih jauh tentang ”Sugihan”
Saatnya Mulai Mengurangi Aktivitas Duniawai
HARI
raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini
didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panji Malat Rasmi dan
Lontar Pararaton di Kerajaan Majapahit. Di India perayaan semacam ini dinamakan
hari raya Crada Wijaya Dasami. Di Bali, keberadaaan hari raya Galungan beserta
rangkaiannya dipertegas lagi dalam Lontar Jayakasunu yang ada pada era
pemerintahan Raja Sri Jayakasunu. Sebelumnya perayaan Galungan sempat
ditiadakan yang ternyata mengakibatkan banyak rakyat pada waktu itu mengalami
penderitaan.
Hari
raya Galungan seperti diketahui memiliki rangkaian yang dimulai jauh sebelum
hari raya itu sendiri. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya
menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan.
Dengan
demikian bisa dikatakan sugihan termasuk salah satu rangkaian upacara
menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu
1.
Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2.
Sugihan Jawa
3.
Sugihan Bali.
Karena
mengikuti perhitungan wuku, masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali.
Ketiga sugihan secara berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang
disebut Sugihan Pangenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan
Jawa dan Sugihan Bali.
Sugihan
Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam mitologinya berhubungan
dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada Empu Kuturan dan usaha untuk
mengangkat salah satu putra Raja Erlangga untuk menjadi raja di Bali. Namun,
Empu Kuturan menolak permintaan tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu
langsung meninggalkan tanpa permisi untuk kembali ke Daha.
Ketersinggungan
Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri.
Karena itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar
bhuta kala dapat dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan
sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama
sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Nguncal
balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta
tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai
kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat
negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat
kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.
Dalam
Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang
Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana
(Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia
akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.
Oleh
sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk
penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu,
ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.
Demikianlah
pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak
bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan
aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi. Orang
kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada
kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan
tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan
umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang
berlebih-lebihan.
Aktivitas ”Ngelawang”
Salah
satu cara mencapai tujuan yang dimaksud, di beberapa daerah di Bali pada saat
Sugihan Pangenten ini melaksanakan kegiatan ngelawang yaitu memakai barong
dengan mengelilingi wilayah desa adatnya. Malahan ada yang sampai ke luar jauh
dari wilayah desanya dengan melewati tiap lawang (pintu rumah penduduk) agar
bhuta dengan segala kekuatannya kembali ke tempatnya yang semula.
Dalam
filosofi Hindu, munculnya para bhuta adalah akibat kekeliruan pelaksanaan
manusia dalam kehidupannya, sehingga pada saat itu Dewa Trimurti menciptakan
para bhuta. Dewa Brahma diutus menjadi topeng bang, Dewa Wisnu menjadi telek
dan Dewa Siwa menjadi barong. Selanjutnya dalam ngelawang ini barong itulah
di-iring untuk menyelamatkan manusia terhadap godaan para bhuta dalam
kehidupannya.
Sehari
setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa. Makna sugihan ini adalah hari
penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan melakukan pemujaan di
tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian dimaksud dilakukan secara sekala
dan niskala. Bagi para wiku, sadaka, hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa
mantra. Sedangkan para yogin melakukan yoga semadi.
Selain
penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan upacara marerebu
di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan upacara pembersihan atau
pangeresikan. Memakai sarana bunga harum. Adapun tujuannya adalah menstanakan
para dewa dan pitara.
Upakara-upakaranya
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci yang ada. Untuk palinggih
termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah kemulan, taksu, panunggun karang dan
lain-lainnya yang sejenis memakai pembersih (pangeresikan) berupa canang burat
wangi lenga wangi, tirtha, dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina
(disesuaikan dengan desa kala patra)
Palinggih
yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi. Sementara penyucian
secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas satu tumpeng guru dengan alas
kulit sesayut yang puncaknya diisi telur itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa
dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua
sorohan alit 9 peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu,
pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas daging ayam
dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan kemampuan.
Jumlah
tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang akan diupacarai
marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan sejenisnya menurut
tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi guling. Setelah dilaksanakan
pembersihan secara sekala barulah dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu
mengaturkan upacara pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan,
diusahakan memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci
yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu dan
seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di jaba atau
halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan arak berem.
Sugihan
Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendirri bhuwana alit. Upacara
khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian, pada hari ini perlu
dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan kehadapan sang sadaka atau
sulinggih. Selain itu umat Hindu juga hendaknya melakukan sembah sebagaimana
layaknya pada hari-hari kajeng kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan
sugihan ini hendaknya dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.
*
Winata dari berbagai sumber
Sugihan Jawa dan Bali
Hari
ini, Jumat, Kliwon, Sungsang, 9 Oktober, disebut Sugihan Bali. Sedangkan Kamis
(8/10), disebut Sugihan Jawa. Banyak umat Hindu masih bingung, merayakan
Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata Jawa dan Bali adalah nama
tempat. Pada hal tidak. Kata Jawa di sini berarti “jaba” yang artinya di luar.
Dengan
demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana
agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala
dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan
sebagai tempat pemujaan. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan
turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.
Kemudian
pada hari Sugihan Bali, umat Hindu menghaturkan sesaji yang pada intinya
melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih
dari perbuatan-perbuatan yang ternoda. Dengan adanya kesucian lahir dan batin
itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.
Pada
hari ini sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra yakni dengan
pergi ke samudera — sumber mata air atau bisa di merajan. Dalam praktik yoga
umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat
sarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian
batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria.
Dengan
demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan
umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan duniawai yang datang
menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda
diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan
kedamaian.
Hari
Sabtu 3 Oktober 2009 (Saniscara Wage wuku Julungwangi) yang bertepatan dengan
Purnama sasih Kapat, bagi umat Hindu dimanapun berada merupakan hari yang di
sucikan. Purnama Kapat di yakini oleh masyarakat Bali sebagai hari raya
suci untuk melaksanakan Dewa Yadnya. Diyakini, selama satu bulan ke depan sejak
purnama, vibrasi dari dewasa baik ini, masih pada siklus kartika massa. Momen
ini di Bali disambut sebagai hari penuh berkah dan kesucian.
Di
mana-mana, di pura-pura seluruh Bali termasuk di luar Bali dilaksanakan
piodalan di saat Purnama sasih Kapat ini. Di antaranya di Pura Padmasana
Penataran Agung Besakih, Pura Lempuyang Madya, Pura Pulaki, Pura Tirta Empul.
Pura Agung Dalem Tarukan Pejeng -Tampaksiring, Pura Rambut Siwi, Pura Batu
Bolong Canggu Kuta, Pura Srijong Tabanan, Pura Lempuyang Madya, Pura Puncak
Mundi Nusa Penida, Pura Penataran Ped, Pura Kahyangan Jagat Kancing Gumi, Pura
Bhatara Tiga Sakti Penataran Besakih, Pura Pulaki Buleleng, Pura Tirta Empul
Tampak Siring, dan Pura Ulun Danu Batur di Songan Kintamani. Selain itu,
piodalan juga dilaksanakan pada berbagai pura paibon, kawitan maupun merajan.
Selain
di Bali, umat Hindu di luar Bali juga menggelar piodalan di saat Purnama sasih
Kapat ini seperti Pura Dukuh Segening Swantika Buana, Seputih Banyak Lampung
Tengah, Pura Puseh Desa Mantawa Toili Sulawesi Tengah, Pura Penataran Agung
Taman Mini Indonesia Indah Jakarta Timur, Pura Agung Surya Bhuana, Skyline Jaya
Pura Papua, Pura Puseh Werdi Agung Demoga Bolang Mangondow Sulawesi Utara, Pura
Meru Cakra Lombok, Puseh Werdi Agung, Demoga, Bolaang Mangondow, Sulut, Putra
Satria Darma, Dompu. Pura Giri Kusuma, Sulsel, Pura Penataran Kerta Bumi.
Demikianlah
Purnama sasih Kapat itu jika ditelaah dari konsep lunar-solar sistem,
bulan-matahari. Keberadaan bulan kebetulan persis berada pada posisi garis
lurus di atas katulistiwa. Jadi pada momen fenomena alam seperti itu, bulan
bersinar penuh. Secara filosofis sangat baik untuk melaksanakan upacara Dewa
Yadnya.
3 Oktober 2009 Hari Penyatuan Jerman
Lain
di Bali lain Pula di Jerman. Pada hari Sabtu 3 Oktober 2009 kemaren masyarakat
Jerman merayakannya bukan dalam rangka Purnama Kapat, melainkan merayakan
penyatuan kembali Negara Jerman (Deutsche Wiedervereinigung) dan merupakan hari
libur nasional. Hari libur nasional ini mulai terjadi sejak tanggal 3 Oktober
1990, ketika mantan daerah Republik Demokratis Jerman (Jerman Timur)
digabungkan ke dalam Republik Federal Jerman (Jerman Barat) . Dan enam
negara bagian Jerman Timur (Bundeslรคnder); Brandenburg, Mecklenburg-
Vorpommern, Sachsen, Sachsen-Anhalt, Thรผringen, dan Berlin bersatu secara
resmi bergabung dengan Republik Federal Jerman (Jerman Barat).
Masyarakat
Jerman merayakan “hari suci” 3 Oktober mereka dengan mengunjungi tempat
bersejarah yang merupakan saksi bisu sejarah penyatuan Jerman yang masih
tersisa hingga saat ini yaitu sisa Tembok Berlin dan pusat kota Berlin di
sekitar Pintu Branderburg. Diantara kerumunan masyarakat yang mengunjungi sisa
tembok berlin dan Pintu Branderburg di Berlin, mungkin ada juga beberapa Nyama
Braya Bali yang kebetulan berdomisili di Berlin atau Nyama Braya Bali yang
berdomisili di Jerman.
3 Oktober 2009 Nyama Braya Bali di Jerman dan Bali
Puspa
Bagaimana
dengan komunitas masyarakat Bali yang berdomisili di Jerman di daerah Kรถln dan
sekitarnya? Komunitas masyarakat Bali yang tergabung dalam organisasi Nyama
Braya Bali melewati 3 Oktober 2009 ini dengan kegiatan latihan bersama
“megambel dan menari” dalam rangka persiapan merayakan Hari Kuningan yang akan
datang pada tanggal 24 Oktober 2009.
Seperti
latihan sebelumnya yang dilaksanakan dihari Sabtu 19 September 2009, latihan 3
Oktober 2009 inipun juga mencoba menseragamkan gerak tangan para penari agar
sesuai dengan irama gamelan bali, yang di pimpin oleh Made Agus Wardana
(pelatih gambelan dari Belgia yang khusus datang ke Kรถln dalam rangka
mensukseskan Perayaan Kuningan di frankfurt 24 Oktober 2009).
Tarian
yang di latih kembali, selain Tari Janger dan Tari Genjek seperti tampak pada
photo diatas, adalah Tari Rejang Dewa, Tari Pendet, Tari Sekarjagat, Tari
Margapati, dan Tari Joged Bumbung. Latihan Tari Joged Bumbung saat itu terasa
meriah dan lucu sekali dengan gerakan tarian yang diperagakan oleh Ni Luh
Arminingsih yang biasa di panggil dengan sebutan Mbok Mimik dipadukan dengan
gamelan tingklik bambu berlaras Slendro yang dimainkan oleh Made Agus Wardana.
Saya yakin disaat pemantasan di perayaan kuningan 24 Oktober 2009 nanti di
Offenbach penonton akan dibuat kagum akan banyaknya jenis tarian Bali yang
diperagakan oleh sanggar tari Bali Puspa.
Seperti
biasa pemilik sanggar tari Bali Puspa, yaitu Bli Made Sukasta Mindhoff dan
Nyoman Suyadni Mindhoff selalu ramah dalam menjamu setiap orang yang berkunjung
kerumahnya, baik itu untuk tujuan bertamu maupun untuk tujuan berlatih. dalam
kunjungan yang kedua kali ini kerumah Bli Made Sukasta, saya dapati masakan
khas bali lagi yang memang terkenal lezat dengan menu utamanya, lawar urab,
sate kelapa, Babi Guling, dan lain-lain. Nyama Braya Bali yang berlatih di
rumah Bli Made Sukasta selalu di manjakan dengan masakan lezat ini sehingga
kelelahan karena perjalanan jauh dari stuttgart dan dari Frankfurt sirna lenyap
terbawa terbang bersama aroma masakan serta aroma kopi bali.
Akhir
kata. saya selaku wakil dari panitia perayaan Kuningan 24 Oktober 2009,
mengucapkan syukur dan terimakasih akan kebaikan serta ketulus ikhlasan dari
keluarga Mindhoff dan sanggar Bali Puspa untuk ngayah mensukseskan jalannya Perayaan
Kuningan di Offenbach nanti. Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa selalu memberikan
kelancara rejeki dan kesehatan kepada keluarga Mindhoff dan Sanggar Bali Puspa.
Memaknai Tumpek Bubuh 19 September 2009—-
Bersyukur dan Menghargai Ciptaan Tuhan
Bersyukur dan Menghargai Ciptaan Tuhan
Sabtu
Kliwon 19 September 2009, umat Hindu kembali memperingati Tumpek Wariga. Tumpek yang memiliki nama cukup banyak — Tumpek Uduh, Tumpek
Bubuh dan Tumpek Pengatag — itu sangat erat kaitannya dengan dunia pertanian.
Secara ritual, pada hari itu umat melaksanakan upacara persembahyangan ke
hadapan Batara Sangkara — manifestasi Tuhan dalam menciptakan kesuburan
tumbuh-tumbuhan. Dalam konteks kekinian, perayaan hari keagamaan seperti itu
tentu tidak hanya berhenti pada kegitan ritual semata. Lebih dari itu, umat
dituntut untuk mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Tumpek Bubuh dalam kehidupan sehari-hari.
==================================================
Sesungguhnya,
perayaan Tumpek
Bubuh salah satu komponen penting dalam
mengajegkan konsep Tri
Hita Karana. Salah satu unsur penting dalam konsep
itu adalah hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya — dalam kaitan ini hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan. ”Ajaran yang terkandung dalam Tumpek Bubuh ini
sangat luhur. Umat bukan hanya mesti menghargai ciptaan Tuhan, tetapi sekaligus
melestarikan tumbuh-tumbuhan yang telah mensejahterakan kehidupannya,” kata
tokoh agama Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.
Alasannya,
jika lingkungan khususnya tumbuh-tumbuhan secara kuantitas dan kualitas tidak
sesuai dengan kebutuhan maka manusia akan menjadi sangat menderita. Karena itu,
sangat wajar umat memberikan dukungan sepenuhnya kepada petani.
Tumbuh-tumbuhan,
kata Jendra, telah memberikan banyak manfaat bagi umat manusia. Tumbuh-tumbuhan
memberikan prana berupa oksigen, keteduhan, perlindungan dan sumber makanan bagi
manusia. Bahkan, dalam Canakya Nitisastra dan sumber-sumber lainnya disebutkan,
sesungguhnya hidup manusia dengan lingkungan saling mengisi atau saling
melengkapi yang dikenal dengan istilah simbiosis mutualisme.
Jika
lingkungan mengalami disharmoni, tentu akan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia. Misalnya, jika hutan yang tersedia mengalami kegundulan
akibat adanya penebangan liar, maka uap air sebagai cikal bakal hujan tidak
akan bisa menghendap. Demikian juga bila terjadi hujan lebat, akan terjadi
banjir besar karena tidak ada pohon yang menahan air.
Dikatakan,
ditinjau dari nuansa religius spiritual, tumbuh-tumbuhan adalah evolusi lebih
awal dari kehidupan manusia. Hal itu diakui oleh Darwin dan Maharsi Patanjali.
Ditinjau dari kebutuhan manusia akan makanan, tumbuh-tumbuhan telah memberi
penghidupan.
Karena
itu, Tumpek Wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara kelestarian
lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Apalagi, di Bali saat ini hutan-hutan
mulai gundul, bahkah kini telah ditebang untuk pemukiman. Ini tentu akan sangat
mengganggu ekosistem yang ada.
Pada
Tumpek Bubuh itu manusia memberi penghargaan dan kasih sayang terhadap
tumbuh-tumbuhan agar berbuah banyak, berbunga lebat dan berumbi untuk
kepentingan yadnya –persembahan kepada Tuhan pada hari raya Galungan, 25 hari
setelah Tumpek Bubuh.
Dikatakan,
banyak yang beranggapan bahwa Tumpek Bubuh hanya ”milik” para petani di
pedesaan, sehingga para pegawai tidak perlu merayakannya. Anggapan semacam ini
sangat keliru karena pengertian Tumpek Bubuh tidak sesempit itu. Umat manusia,
termasuk para pegawai, mesti sadar bahwa mereka juga hidup karena
tumbuh-tumbuhan — kendati untuk membeli buah, sayur dan beras, mereka cukup
menyediakan uang dari hasil kerjanya. ”Pernahkah kita mendoakan agar petani
bisa hidup berbahagia,” tanya Jendra.
Sesungguhnya
pula, kata Guru Besar Fakultas Sastra Unud ini, aplikasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Tumpek Bubuh bukan hanya untuk kepentingan umat Hindu, tetapi
juga umat lain. Tanpa tumbuh-tumbuhan, umat manusia tidak akan bisa hidup.
”Jadi nilai yang terkandung dalam Tumpek Bubuh sangat universal. Karena itu,
melalui perayaan Tumpek Bubuh, umat manusia mengucap syukur kepada Tuhan karena
telah diberi kehidupan,” ujarnya.
Ketika
nilai-nilai Tumpek Bubuh dihubungkan dengan wacana kembali ke dunia pertanian —
pascaledakan bom Kuta — sesungguhnya sesuatu yang memang harus mengacu ke sana.
Lagi pula, kata Jendra, pariwisata dan pertanian sangat erat hubungannya.
Pariwisata sangat ditunjang oleh pertanian. Hasil pertanian sangat menunjang
sektor pariwisata. Oleh karena itu, pertanian memang harus tetap
dibinakembangkan secara intensif dengan menggunakan teknologi modern. Dengan
demikian, dunia pertanian betul-betul memberikan kesejahteraan bagi umat manusia,
khususnya para petani.
Metode
Sementara
itu, Kakanwil Agama Propinsi Bali Drs. I Gusti Made Ngurah mengatakan,
peringatan Tumpek Bubuh merupakan semacam metode untuk mengucap syukur kepada
Tuhan karena telah diciptakan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan telah memberikan
kehidupan bagi umat manusia. Karena itu, umat wajib mengaturkan rasa
angayubagia kepada Tuhan, melalui ritual Tumpek Bubuh.
Melalui
peringatan itu, umat diingatkan dan disadarkan kembali bahwa dunia pertanian
memang penting. ”Jadi, peringatan Tumpek Bubuh bisa dikatakan semacam metode
untuk menyadari manusia akan pentingnya tumbuh-tumbuhan,” katanya.
Melalui
perayaan itu umat mengaturkan rasa bakti kepada Tuhan karena telah diciptakan
beragam tumbuh-timbuhan yang telah banyak membantu kehidupan manusia.
Dalam
konteks wacana mesti kembali ke pertanian, kata mantan Direktur APGAH —
sekarang STAH itu — seolah-olah umat sudah melupakan kawitan, ajaran asal yang
adilihung. Padahal, dunia pertanian mesti tetap terpelihara. Dunia yang telah
memberi kehidupan ini hendaknya tetap dibina dan dilestarikan. Kita hidup dan
berkembang seperti sekarang karena tumbuh-tumbuhan. (lun)
Renungan Tumpek Uduh
Lestarikan Alam Tak Ubahnya Rawat Diri Sendiri
Setiap
rerahinan gumi di Bali sesungguhnya mengandung ajaran atau pesan yang amat
mulia. Termasuk, rerahinan Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag atau dikenal juga
dengan sebutan Tumpek Wariga, Sabtu (19 September 2009 ) hari ini. Rerahinan
yang jatuh setiap enam bulan itu mengandung pesan pelestarian alam. Karena itu,
alam perlu dirawat agar lestari. Mengawal atau melestarikan alam (makrokosmos)
tak ubahnya merawat diri sendiri (mikrokosmos).
DOSEN
IHDN Denpasar Drs. Made Girinata, M.Ag. dan Drs. Made Surada, M.A. mengatakan,
pada rerahinan Tumpek Uduh ini umat memuja Dewa Sangkara, manifestasi Tuhan
penguasa tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan yang diciptakan Ida Sang Hyang Widhi
itu sangat berguna bagi kehidupan manusia. Karena itu, umat mesti bersyukur
kepada Sang Pencipta, melalui ritual Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga. Dalam
konteks itu yang dipuja bukanlah tumbuh-tumbuhan, tetapi umat mengaturkan bakti
kepada Tuhan yang telah memberi kekuatan atau kesuburan hidup berbagai
tumbuhan. Pada Tumpek Uduh, umat umumnya mengaturkan sesajen pada pohon-pohon
produktif, seperti kelapa, pisang dan pohon buah-buahan lainnya - -mengucap
puji syukur ke hadapan Tuhan. Pohon-pohon itu diupacarai mewakili
tumbuh-tumbuhan yang lain, karena paling sering dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari atau paling ‘dekat’ dengan kehidupan umat manusia.
Girinata
yang Dekan Fakultas Dharma Acarya IHDN ini menambahkan, tumbuh-tumbuhan atau
pepohonan yang ada di alam semesta ini sangat membantu umat manusia. Bisa
dibayangkan, jika umat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan. Karena itu, ada etika dalam
pemanfaatannya. Misalnya, ketika umat Hindu di Bali menebang pohon, ada etika
yang mesti dijalankan. Sebelum pohon ditebang, umumnya umat memohon izin dulu
kepada Tuhan. Setelah pohon ditumbangkan, bekas potongan itu ditancapkan
ranting atau pucuk pohon. Ini sesungguhnya mengandung makna simbolik bahwa umat
diingatkan melakukan penanaman kembali. Satu pohon ditebang, paling tidak di
bekas tebangan itu ditanami satu pohon baru.
Hal
senada dikatakan Made Surada yang Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN. Melalui
ritual Tumpek Wariga, umat Hindu sesungguhnya diingatkan agar tetap
melestarikan alam. Di Bali, pesan pelestarian alam itu dikemas dengan teologi
dan budaya lokal yakni Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh. Sebab, jika alam rusak,
dampaknya akan buruk bagi kehidupan manusia.
Dalam
Weda disebutkan, tumbuh-tumbuhan dan air adalah pelindung manusia. Bahkan,
dalam Reg Weda disebutkan, tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa yang sama dengan
manusia. Karena itu kita mesti menjalankan ajaran tatwam asi dalam
memperlakukan alam. Jika alam rusak atau sakit, kita wajib mengobatinya atau
merawatnya. Merusak alam berarti juga menyakiti diri sendiri. Karena itu
peliharalah alam agar terjadi keharmonisan. Tumbuh-tumbuhan juga penghasil O2
yang amat diperlukan oleh manusia. ‘Dalam konteks mengantisipasi terjadinya
pemanasan global (global warming), tampaknya spirit Tumpek Uduh penting
dimaknai,’ kata Girinata dan Surada.
Sementara
itu, dosen Unud yang Ketua Umum Pasemetonan Pangeran Mas Dalem Blambangan
Provinsi Bali Ir. Ida I Dewa Oka Widyarshana, M.Si. sempat mengatakan, benteng
kokoh spiritual yang senantiasa melandasi perikehidupan kita adalah tatwam asi.
Spirit tatwam asi itulah yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan
bermasyarakat, termasuk dalam memperlakukan alam semesta (bhuwana agung)
ciptaan Hyang Widhi Wasa. Menjaga dan mengawal bhuwana agung tak ubahnya
merawat dan memelihara diri sendiri (bhuwana alit). Hal itu dikatakan
Widyarshana saat Mahasabha I Pasemetonan Pangeran Mas Dalem Blambangan Provinsi
Bali di Wantilan Pura Dalem Jawi, Puri Agung Bunutin, Bangli, Minggu lalu. (08)
Memaknai Tumpek Landep 15
Agustus 2009
Mempertajam Pikiran, Mengasah Kepekaan Nurani
Mempertajam Pikiran, Mengasah Kepekaan Nurani
SANISCARA Kliwon Wuku Landep atau Sabtu 15 Agustus
2009, umat Hindu merayakan Tumpek Landep.Aktivitas yang tampak mencuat, umat Hindu di seluruh Bali mengeluarkan segala jenis senjata, benda pusaka maupunperalatan lainnya yang mengandung unsur logam lantas diupacarai. Padahal, hakikat perayaan Tumpek Landepsejatinya tidak sesederhana itu. Di dalamnya terkandung beragam kedalaman filosofi dan tuntunan hidup yangmenggerakkan umat manusia untuk menapaki kehidupannya dengan lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.
======================================================
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu
Indonesia (Unhi) Drs.
I Wayan Suka Yasa, M.Si. dan KasubdinAdat dan Istiadat Dinas Kebudayaan Bali Drs. IDP Beratha, M.Si. tidak menampik bahwa umat Hindu di Bali seringkalimemaknai perayaan Tumpek Landep ini secara dangkal. Hanya terfokus mengupacarai senjata dan peralatan hiduplainnya seperti kendaraan bermotor, peralatan eklektronik dan sejenisnya.
“Seharusnya, Tumpek Landep ini dimaknai sebagai momentum berharga untuk nyelisik bulu, instrospeksi dan bersiapdiri menata kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya berhenti pada upacara semata,” kata Suka Yasa yang dibenarkanoleh Beratha.
Dalam perayaan Tumpek Landep, kata kedua sumber Bali Post ini, Ista Dewata yang dipuja adalah Batara Siwa dalammanifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pasupati (pasu = binatang, pati = raja atau raja binatang - red). Muara dariaktivitas spiritual ini, umat Hindu diharapkan mampu mengatasi dan mengendalikan sifat-sifat binatang dalam diri(sadripu) yakni kama (nafsu negatif), krodha (kemarahan), mada (kemabukan), lobha (kerakusan), irsya (iri/dengki)dan moha (kegelapan bathin). “Dalam konteks perayaan Tumpek Landep, sifat-sifat binatang itulah yang mestidieliminasi,” ujar Beratha.
Kualitas Diri
Mengutip Lontar Sunarigama, Suka Yasa mengatakan tujuan pemujaan dalam Tumpek Landep adalah astawakena ringsarwa sanjata lelandeping prang. Yakni, memuja Sang Hyang Pasupati untuk memohon agar senjata/peralatan hidupyang dipakai untuk berperang/berusaha menjadi bertuah atau dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tajam danberguna. Dalam lontar itu juga disebutkan ikang wang apasupati landeping idep yang menyiratkan ajakan kepadaumat untuk memasupati pikirannya agar tajam dan senantiasa sadar diri.
“Jadi, apasupati di samping berarti memberi tuah kepada keris, tombak dan jenis-jenis peralatan lainnya agarberdaya guna dalam mensejahterakan kehidupan manusia juga berarti mengusahakan agar manusia dapat mengatasisifat binatang. Senantiasa meluhurkan diri dan meningkatkan kualitas diri,” paparnya panjang lebar.
Bagaimana caranya? Menjawab pertanyaan itu, Suka Yasa mengatakan banyak sekali sastra agama
yang memberikantuntunan untuk kepentingan itu. Dalam Prasna Upanisad, misalnya, mengajarkan tiga cara yakni brahmacari, tapa danswadyaya. Brahmacari artinya memiliki tekad yang bulat untuk memahami Brahman yakni satyam (kebenaran),siwam (kebajikan, moralitas) dan sundharam (keindahan). Tapa artinya tahan uji dan berani berkorban. Sedangkanswadyaya berarti tekun belajar sendiri dan kreatif.
“Masih banyak lontar sejenis yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara meningkatkan kualitas diri tersebut.Dalam konteks kekinian, tuntunan yang digariskan dalam sastra-sastra agama itu tetap sangat relevan untukdiimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Lantas, apakah kesuntukan umat mengupacarai berbagai jenis senjata, benda pusaka dan peralatan lainnya saatTumpek Landep merupakan hal yang keliru? Sebab realitanya, mayoritas umat Hindu di Bali cenderung memusatkanaktivitasnya kepada hal-hal yang bersifat sekala semata alias belum “menjamah” hal-hal yang lebih esensial. MenurutSuka Yasa, aktivitas mengupacarai sarwa landep (senjata-red) pada Tumpek Landep itu bukanlah suatu yang keliru.Alasannya, senjata itu merupakan alat untuk mensejahterakan dan mempermulia kehidupan umat manusia.
Panah pada zaman dahulu, misalnya, merupakan alat untuk berburu di mana hasil perburuan itu digunakan untukmemenuhi keperluan konsumsi anggota keluarganya. Di masa kini,
“senjata” itu tidak lagi sebatas panah, tombak dansejenisnya, tetapi juga mencakup kendaraan bermotor dan perangkat elektronik yang terbukti memiliki peran yangsangat vital bagi manusia modern dalam mengumpulkan nafkah.
“Jadi, bukan sesuatu yang keliru jika kita mengupacarai dan mendoakan benda-benda itu saat Tumpek Landep dengansarana upakara tertentu. Mengapa benda itu didoakan? Tentu saja agar bisa membantu manusia dalammensejahterakan hidupnya,” kilahnya.
Kendati begitu, Suka Yasa tetap mengingatkan umat Hindu
agar tidak lupa mengasah dan mempertajam “senjata”
yang ada dalam dirinya. Yakni, bagaimana mengasah pikiran dan hati nurani untuk bisa mendapatkan pengetahuan,kebijaksanaan dan bisa menimbang mana yang baik dan benar yang selanjutnya memang dapat memuliakankehidupan manusia. “Selain mempertajam senjata yang digunakan sehari-hari untuk mencari nafkah, senjata yang adadalam diri juga harus terus-menerus diasah dan dipertajam,” tegasnya. * w. sumatika
Tumpek Landep , Mengasah Hati Nurani
Hari raya umat Hindu seringkali berhenti dengan melakukan upacara ritual keagamaan yang berwujud memberikansesajen. Jarang sekali datangnya hari raya itu dipakai untuk mengupas simbol-simbol yang ingin disampaikan olehleluhur kita di masa lalu, untuk kita hayati inti sarinya. Padahal lewat simbol-simbol itulah akan terungkap ajaranyang penuh dengan makna kehidupan dan tetap relevan untuk menghadapi segala peralihan zaman.
Misalnya hari ini, disebut Tumpek Landep. Pengertian yang umum dikenal oleh kebanyakan orang adalahmengaturkan sesajen untuk semua alat yang terbuat dari besi. Pengertian ini terus-menerus diwariskan kepadagenerasi muda. Maka yang terjadi adalah memberikan sesajen di mobil, sepeda motor, televisi, kulkas. Mungkin sudahada pula yang memberikan sesajen di komputer, laptop, kompor gas, handphone, mesin faksimile, entah apa lagi.Padahal orang-orang Bali di masa lalu hanya memberikan sesajen itu pada jenis-jenis pisau, pahat, tombak, keris dansebagainya. Bukan karena terbuat dari logam besi, tetapi ada unsur ”tajam”. Tumpek Landep adalah ritual untukmengasah ”ketajaman”, bukan untuk ”otonan motor” sebagaimana yang lazim disebut sekarang ini.
Jika dirunut ke belakang, Tumpek Landep berkaitan dengan ritual sejak hari Saraswati. Pada hari itu kita memujaDewa Brahma agar ”shakti Beliau” yakni Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan. Setelah memohon pada DewiSaraswati, esok harinya kita melakukan pembersihan rohani (ritual banyu pinaruh). Esoknya, soma ribek, dimulaiproses pembelajaran. Esoknya lagi, sabuhmas, menabung segala ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari. Ilmupengetahuan yang terkumpul itu kemudian dijadikan benteng kehidupan dan dirayakan sebagai Pagerwesi. Ilmuitulah yang terus kita asah dalam rentang waktu sepuluh hari sehingga pada Tumpek Landep kita rayakan denganpawintenan, yang intinya memohon kepada Hyang Pasupati agar kita tetap punya ketajaman pikiran.
Itu sebabnya, pada hari Tumpek Landep, di gria para sulinggih banyak dilakukan pawintenan, kalau dalam bahasamodern bisa disebut ”hari wisuda”. Nah, karena di masa lalu kehidupan masyarakat Bali murni agraris, sarana kerjapun ikut ”diasah” dan diberikan sesajen seperti pisau, cangkul, pahat, tumbak, keris dan sebagainya.
Kini, ketika kehidupan berubah dari agraris ke industri, sarana yang perlu dipertajam bisa saja berganti. Komputerdan laptop, ya… bisa diberikan sesajen, mobil dan motor, juga tak salah. Tetapi yang inti bukan itu, kitalah sebagai”manusia yang berpikir” harus diberi upacara lebih dahulu. Janganlah mobil dicuci mengkilat lalu diberi sesajen,sementara pemilik mobil mandi pun tidak, apalagi melakukan persembahyangan. Kita sebagai ”manusia yangberpikir” harus terus mengasah pikiran kita, karena itu inti dari Tumpek Landep.
Di era
Kali Yuga (zaman edan) ini, pikiran yang mana perlu kita asah? Jika kita menyadari bahwa zaman ini penuhkegelapan, maka kita jangan ikut larut dalam kegelapan itu, kita perlu mengasah hati nurani kita agar peka terhadapberbagai persoalan yang diakibatkan oleh vibrasi Kali Yuga. Kita tak bisa mengasah hati nurani dengan membelenggudiri kita dalam lingkungan kecil, apalagi jika kita tak pernah keluar dari komunitas kita sendiri. Kita harus melebarkanpandangan dan melihat jauh ke luar dari lingkungan kita.
Kalau kita menjadi anggota DPRD, misalnya, janganlah kita hanya berkutat di gedung DPRD atau kantor bupati saja,bergaul dengan sesama anggota legislatif atau eksekutif melulu. Jika terbatas seperti itu, maka yang dipikirkanhanyalah bagaimana menambah gaji dari mempermainkan anggaran, bagaimana agar bisa mendapatkan KijangInnova. Coba tengok rakyat di pedesaan, bagaimana sulitnya mendapat pupuk murah, bagaimana mahalnyakebutuhan hidup sehari-hari. Kalau penderitaan rakyat itu kita hayati dengan hati nurani paling dalam, maka KijangInnova betul-betul merupakan barang yang harus ditolak.
Sebagai manusia yang diberikan kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih, gunakanlah ilmupengetahuan itu di jalan dharma. Yang pertama kita lakukan adalah mensyukuri hal itu, bahwa ternyata kitalah yangdiberi kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang lebih itu, orang lain tidak. Orang lain punya keterbatasan, entahekonominya tidak mampu, entah otaknya tidak memadai, misalnya, ada kelainan atau sakit. Ilmu itu harus kitakembalikan ke masyarakat dengan mengangkat harkat kehidupan masyarakat.
Mungkin kita membuat sesuatu untuk menambah lapangan kerja, berbuat sesuatu untuk meningkatkan pendidikanmasyarakat. Sambil melakukan itu kita mengasah kepekaan nurani kita, bahwa betapa banyaknya kehidupan yang dibawah standar masih ada di masyarakat, sementara kita di atas melakukan perbuatan hura-hura. Kita di atas ributdengan pembagian Kijang Innova, sementara di bawah ribut dengan beras murah yang penuh kutu.
Jika nurani kita peka, kita tak mungkin membiarkan petani kecil menjual tanahnya hanya untuk upacara ritual yangbesar. Hal itu akan menambah penderitaan sang petani dengan keturunannya. Dengan ilmu yang kita peroleh, kitasadarkan petani miskin itu bahwa ritual yang sederhana pun bisa diakukan. Lalu dengan ilmu itu pula kita mencariterobosan bagaimana mengangkat kehidupan sang petani. Zaman ini memang penuh godaan, namanya saja ZamanKali. Tetapi manusia-manusia yang punya kepekaan nurani, akan selamat dari godaan ini. Karena itu asahlah nuraniAnda, mumpung hari ini Tumpek Landep. * Putu Setia
Posting Komentar